Matahari begitu mengenyat siang ini. Keringat bercucuran di sekujur tubuh
Nadia dengan kaos liris-liris kecil berwarna navy dan hitam, rambut panjangnya
terurai rapi dengan poni yang sedikit basah karena keringat. Siang ini terik,
tetapi udaranya sangat menyejukkan. That’s right saat ini posisi Nadia berada
pada ketingian antara 450-550 Mdpl, suasana terik pun udara masih terasa
berembun.
Duduk termenung di depan barak
tempat Nadia bermalam membuatnya bosan, ia memilih melangkah kecil mencari
hal-hal yang mungkin berbeda dari tempatnya saat ini. Disini benar-benar berbeda dari Madura, dalam hatinya memberi
penilaian. Beberapa menit berlalu ia menyadari ada sesuatu yang kurang, ia baru
sadar ponselnya tidak ada di tangannya. Secepat kilat ia menuju kembali ke
barak, setelah mengaduk-ngaduk isi ranselnya akhirnya ia menemukan kembali benda
yang membuatnya begitu khawatir itu.
Suasana barak sangat ramai,
teman-temannya yang lain sedang sibuk merapikan barang-barang yang dibawanya. Ruangan
ini hampir mirip dengan asrama polisi atau tentara, dalam ruangan itu tersebut
terdapat empat ranjang berukuran besar, dua diantaranya bertingkat. Setiap satu
ranjang dapat menampung delapan sampai sepuluh kasur.
Nadia adalah anak kelas sepuluh
SMA dengan badan kurus, rambut lurus terawat, matanya indah, tetapi suaranya
terkadang membuat gatal telinga yang mendengar.
“Sebelum kegiatan hari ini
dimulai kita wajib selfie on the day”
suaranya santai namun khas.
“Mari keluarkan tongsing dan
bersiap” Indira memberikan tongsing, dan dengan sekejap Nadia memasang dan
mengatur ponselnya sesuai dengan yang ia harapkan.
Nadia kembali memberikan
tongsing yang sudah siap dengan ponsel tersebut kepada Indira, karena diantara
yang lain Indira yang memiliki postur tubuh paling tinggi sekitar 170 cm. “Oke
dibelakang siap? 5 detik ya”. Suaranya halus namun tegas, semua gadiis-gadis
yang tersenyum menatap kamera itu dengan siaga berganti-ganti ekspresi setiap
kali ponsel dengan otomatis berganti untuk mengambil foto yang baru.
“Yuk kita ke lokasi, kita sudah
dari tadi ditunggu pemandu kita”. Suara Gita lantang memerintah tegas. Secara perlahan
satu demi satu melangkah menuju lokasi yang ditunjuk.
“Selalu selfie everywhere”. Gita menyerigai pada ulah Nadia dan Indira yang
masih berekspresi menatap kamera ponsel Nadia.
“Momen itu wajib diabadikan. Balas
Indira dengan senyum masamnya yang dibuat-buat.
Satu jam berlalu, dua jam
berlalu, dan berjam-jam untuk hari ini telah berlalu. Hari yang begitu indah,
menikmati berbagai macam game, berteriak diatas flaying fox, tertawa lepas, Api unggun, Makan jagung bakar,
joget-joget penuh keceriaan, nangis-nangis karena renungan, sampai acara
kejutan ulang tahun untuk Yanti dan Hendra.
Malam disini begitu dingin,
tetapi kegitan-kegitan malam ini mampu membuat mereka mengabaikan rasa dingin
yang menyelimuti diri mereka, bagi mereka bersama-sama adalah hal begitu indah.
Seperti saudara, mereka berbaur bersama menikmati malam di Wisata Bhakti Alam
Pasuruan ini, dan api unggun semakin menambah kehangatan diantara mereka.
Semuanya sudah terlewati, malam sudah menunjukkan pukul 22.30 sebagian
sudah memposisikan diri di kasur masing-masing, sebagian lagi masih berkeliling
area sekitar. Luas tempat wisata ini sekitar 60 hektare dan malam ini hanya
rombongan Nadia yang menghuni tempat wisata ini.
Entah seberapa jauh mereka
melangkah, dengan tujuan yang tidak jelas , jalan yang menurun dan menanjak,
udara malam yang terasa menusuk-nusuk tulang, bahkah tidak adanya penerangan
membuat mereka yang ikut mengandalkan lampu senter dari ponsel mereka untuk
penerangan.
“Kita mau kemana guys”. Suara Ami
bergemetar.
“Kamu takut Mi?”. Sendi mengejek
Ami yang kalah pada cewek-cewek yang tidak terlihat takut meskipun gelap.
“Sudah tenang saja kita hanya
berkeliling melihat-lihat sekitar sini”. Jelas Amel.
“Sumpah disini dingin sekali,
serasa beku”. Suara Nadia yang khas terdengar lantang, sejak tadi ia
menggandeng tangan Gita.
“Ah biasa aja Nad, Lu masih pake
baju aja ngeluh. Noh si Ali Cuma pake celana pendek dan tanpa baju”. Indira
menunjuk ke arah Ali yang memang hanya memakai celana pendek dan tidak
mengenakan baju.
“Waduh gila aja kamu Li gak
dingin apa?”. Gita berkomentar.
“Balik saja yuk teman-teman,
makin kesini semakin menyeramkan”. Ami semakin menampakkan ketakutannya.
“Hahaha” suara sebagin anak
mengejek Ami yang begitu ketakutan sampai menggandeng tangan Ape. “Gila kalian
gandengan cowok-cowok”. Suara Gita terdengar seperti menahan tawa.
Malam semakin larut dan
anak-anak itu masih terus melangakah, mereka sudah melewati beberapa jalan
menurun yang lumayan curam sampai akhirnya mereka menyerah.
“Mel kita mau kemana setelah
ini?”. Ali bersuara tenang.
Jalan di depan semakin curam,
semuanya menghentikan langkah. “Kita balik saja ya, ini sudah larut, takut kita
dicari”. Amel memang selalu bijak, kata-katanya selalu disegani.
Untuk sampai kembali di barak
mereka harus melewati beberapa tanjakan yang jauh. Butuh perjuangan besar untuk
melaluinya karena tenaga sudah sehari terkuras ditambah lagi energi mereka sudah
digunakan untuk menuruni jalanan curam, alhasil mereka memilih berhenti sejenak
di depat food court.
Saat semua duduk sejenak untuk
sedikit memulihkan tenaga tiba-tiba terdengar suara motor yang semakin dekat,
motor itu berhenti tepat di depan mereka. Dari motor tersebut terlihat dua
orang berpakaian tentara lengkap. “Maaf adik-adik kalian menginap di cottage?”. Suaranya berat.
“Tidak kami di barak pak”. Jelas
Hendra.
“Tolong jangan terlalu jauh. Tinggal
disekitar barak saja, ini sudah sangat larut berbahaya”. Kata tentara yang satu
lagi. Setelah itu mereka langsung berdiri melanjutkan untuk sampai di barak.
Beberapa menit kemudian akhirnya
sampai di barak. Beberapa dari mereka manarik napas lega. Hari ini benar-benar hari
yang panjang menyenangkan dan juga begitu melelahkan. Jam menunjukkan pukul
23.30 hampir seluruh penghuni barak dua sudah terlelap, kecuali Nadia dan Gita
yang masih betah diluar, mereka mencari sinyal untuk mengunggah salah satu
aktivitasnya sehari ini. Di barak satu semuanya terlihat para kaum adam masih
begitu antusias bercengkrama satu sama lainnya.
Malam semakin larut, suara-suara
itu mulai hening. Pintu barak sudah tertutup rapat, mungkin seluruh penghuninya
sudah memejamkan mata, dan membiarkan malam berlalu.