Kamis, 17 September 2015

Perjalanan untuk Sebuah Kenangan


               
Matahari begitu mengenyat siang ini. Keringat bercucuran di sekujur tubuh Nadia dengan kaos liris-liris kecil berwarna navy dan hitam, rambut panjangnya terurai rapi dengan poni yang sedikit basah karena keringat. Siang ini terik, tetapi udaranya sangat menyejukkan.  That’s right saat ini posisi Nadia berada pada ketingian antara 450-550 Mdpl, suasana terik pun udara masih terasa berembun.
                Duduk termenung di depan barak tempat Nadia bermalam membuatnya bosan, ia memilih melangkah kecil mencari hal-hal yang mungkin berbeda dari tempatnya saat ini. Disini benar-benar berbeda dari Madura, dalam hatinya memberi penilaian. Beberapa menit berlalu ia menyadari ada sesuatu yang kurang, ia baru sadar ponselnya tidak ada di tangannya. Secepat kilat ia menuju kembali ke barak, setelah mengaduk-ngaduk isi ranselnya akhirnya ia menemukan kembali benda yang membuatnya begitu khawatir itu.
                Suasana barak sangat ramai, teman-temannya yang lain sedang sibuk merapikan barang-barang yang dibawanya. Ruangan ini hampir mirip dengan asrama polisi atau tentara, dalam ruangan itu tersebut terdapat empat ranjang berukuran besar, dua diantaranya bertingkat. Setiap satu ranjang dapat menampung delapan sampai sepuluh kasur.
                Nadia adalah anak kelas sepuluh SMA dengan badan kurus, rambut lurus terawat, matanya indah, tetapi suaranya terkadang membuat gatal telinga yang mendengar.
                “Sebelum kegiatan hari ini dimulai kita wajib selfie on the day” suaranya santai namun khas.
                “Mari keluarkan tongsing dan bersiap” Indira memberikan tongsing, dan dengan sekejap Nadia memasang dan mengatur ponselnya sesuai dengan yang ia harapkan.
                Nadia kembali memberikan tongsing yang sudah siap dengan ponsel tersebut kepada Indira, karena diantara yang lain Indira yang memiliki postur tubuh paling tinggi sekitar 170 cm. “Oke dibelakang siap? 5 detik ya”. Suaranya halus namun tegas, semua gadiis-gadis yang tersenyum menatap kamera itu dengan siaga berganti-ganti ekspresi setiap kali ponsel dengan otomatis berganti untuk mengambil foto yang baru.
                “Yuk kita ke lokasi, kita sudah dari tadi ditunggu pemandu kita”. Suara Gita lantang memerintah tegas. Secara perlahan satu demi satu melangkah menuju lokasi yang ditunjuk.
                “Selalu selfie everywhere”. Gita menyerigai pada ulah Nadia dan Indira yang masih berekspresi menatap kamera ponsel Nadia.
                “Momen itu wajib diabadikan. Balas Indira dengan senyum masamnya yang dibuat-buat.
                Satu jam berlalu, dua jam berlalu, dan berjam-jam untuk hari ini telah berlalu. Hari yang begitu indah, menikmati berbagai macam game, berteriak diatas flaying fox, tertawa lepas, Api unggun, Makan jagung bakar, joget-joget penuh keceriaan, nangis-nangis karena renungan, sampai acara kejutan ulang tahun untuk Yanti dan Hendra.
                Malam disini begitu dingin, tetapi kegitan-kegitan malam ini mampu membuat mereka mengabaikan rasa dingin yang menyelimuti diri mereka, bagi mereka bersama-sama adalah hal begitu indah. Seperti saudara, mereka berbaur bersama menikmati malam di Wisata Bhakti Alam Pasuruan ini, dan api unggun semakin menambah kehangatan diantara mereka.
Semuanya sudah terlewati, malam sudah menunjukkan pukul 22.30 sebagian sudah memposisikan diri di kasur masing-masing, sebagian lagi masih berkeliling area sekitar. Luas tempat wisata ini sekitar 60 hektare dan malam ini hanya rombongan Nadia yang menghuni tempat wisata ini.
                Entah seberapa jauh mereka melangkah, dengan tujuan yang tidak jelas , jalan yang menurun dan menanjak, udara malam yang terasa menusuk-nusuk tulang, bahkah tidak adanya penerangan membuat mereka yang ikut mengandalkan lampu senter dari ponsel mereka untuk penerangan.
                “Kita mau kemana guys”. Suara Ami bergemetar.
                “Kamu takut Mi?”. Sendi mengejek Ami yang kalah pada cewek-cewek yang tidak terlihat takut meskipun gelap.
                “Sudah tenang saja kita hanya berkeliling melihat-lihat sekitar sini”. Jelas Amel.
                “Sumpah disini dingin sekali, serasa beku”. Suara Nadia yang khas terdengar lantang, sejak tadi ia menggandeng tangan Gita.
                “Ah biasa aja Nad, Lu masih pake baju aja ngeluh. Noh si Ali Cuma pake celana pendek dan tanpa baju”. Indira menunjuk ke arah Ali yang memang hanya memakai celana pendek dan tidak mengenakan baju.
                “Waduh gila aja kamu Li gak dingin apa?”. Gita berkomentar.
                “Balik saja yuk teman-teman, makin kesini semakin menyeramkan”. Ami semakin menampakkan ketakutannya.
                “Hahaha” suara sebagin anak mengejek Ami yang begitu ketakutan sampai menggandeng tangan Ape. “Gila kalian gandengan cowok-cowok”. Suara Gita terdengar seperti menahan tawa.
                Malam semakin larut dan anak-anak itu masih terus melangakah, mereka sudah melewati beberapa jalan menurun yang lumayan curam sampai akhirnya mereka menyerah.
                “Mel kita mau kemana setelah ini?”. Ali bersuara tenang.
                Jalan di depan semakin curam, semuanya menghentikan langkah. “Kita balik saja ya, ini sudah larut, takut kita dicari”. Amel memang selalu bijak, kata-katanya selalu disegani.
                Untuk sampai kembali di barak mereka harus melewati beberapa tanjakan yang jauh. Butuh perjuangan besar untuk melaluinya karena tenaga sudah sehari terkuras ditambah lagi energi mereka sudah digunakan untuk menuruni jalanan curam, alhasil mereka memilih berhenti sejenak di depat food court.
                Saat semua duduk sejenak untuk sedikit memulihkan tenaga tiba-tiba terdengar suara motor yang semakin dekat, motor itu berhenti tepat di depan mereka. Dari motor tersebut terlihat dua orang berpakaian tentara lengkap. “Maaf adik-adik kalian menginap di cottage?”. Suaranya berat.
                “Tidak kami di barak pak”. Jelas Hendra.
                “Tolong jangan terlalu jauh. Tinggal disekitar barak saja, ini sudah sangat larut berbahaya”. Kata tentara yang satu lagi. Setelah itu mereka langsung berdiri melanjutkan untuk sampai di barak.
                Beberapa menit kemudian akhirnya sampai di barak. Beberapa dari mereka manarik napas lega. Hari ini benar-benar hari yang panjang menyenangkan dan juga begitu melelahkan. Jam menunjukkan pukul 23.30 hampir seluruh penghuni barak dua sudah terlelap, kecuali Nadia dan Gita yang masih betah diluar, mereka mencari sinyal untuk mengunggah salah satu aktivitasnya sehari ini. Di barak satu semuanya terlihat para kaum adam masih begitu antusias bercengkrama satu sama lainnya.
                Malam semakin larut, suara-suara itu mulai hening. Pintu barak sudah tertutup rapat, mungkin seluruh penghuninya sudah memejamkan mata, dan membiarkan malam berlalu.

Selasa, 01 September 2015

Nila



Rintik hujan menari-nari membasahi alam semesta ini, membawa dingin yang menusuk hingga tulang-tulang ini. Hujan malam ini mengusik ingatanku tentang luka hati ini, aku duduk diteras rumah tempat biasa aku menghabiskan waktuku dahulu. Hujan malam ini serasa menjadi hujan paling menyakitkan dalam hidupku, otakku seperti memutar kembali memory kenangan-kenangan manis itu, rasa bersalah dan penyesalan kian berkecamuk dalam hati ini. Andai waktu dapat diulang ingin rasanya aku memperbaiki semuanya. Otakku seperti mengingatkanku kejadian empat tahun yang lalu, kejadian yang tidak pernah dapat ku perbaiki lagi.
“Nila Aprilia Cantika” seorang gadis dengan lesung pipi unik, senyumannya selalu membentuk sebuah lesung dipipi kiri bagian atasnya, dia memang berbeda dengan gadis biasanya. Gadis sederhana yang membuatku jatuh hati pada pandangan pertama pertemuan kami.
Nila gadis yang selalu ingin mendapat perhatiaan dariku, dia selalu memiliki cerita-cerita unik, bibirnya pun tidak pernah lelah mengucap kata-demi kata, akan tetapi satu hal yang tidak pernah orang lain sangka tentang dirinya, Nila adalah orang yang sensitive sehingga tak jarang dia menangis.
Beberapa bulan berjalannya hubungan kami, semakin banyak masalah yang harus aku dan Nila hadapi, akan tetapi aku tidak terlalu memikirkannya, aku selalu menganggap semuanya hal biasa yang tidak perlu perhatian khusus. Lain halnya dengan Nila dia selalu memikirkan tiap-tiap masalah yang datang dan pasti akan berujung pada sebuah air mata. Setiap permasalahan yang terjadi Nila selalu menuntutku untuk mengerti dirinya namun aku merasa jika aku sudah mengertinya, wanita memang sulit ditebak apa maunya termasuk Nila.
Nila semakin tidak terkendali, dia berkata jika aku kini berubah, aku sudah tak memiliki waktu dengannya
“Fen kamu kenapa berubah, sejak kamu punya teman baru kamu jadi lebih sering sibuk dengan teman-temanmu, kamu sudah lupa buat nemenin aku” ucap Nila dengan nada yang terbata-bata dalam tangisnya.
“Kamu kenapa tiap hari nangis? Aku bosan dengar suara tangismu itu. Aku tidak berubah” aku menjawab dengan suara agak kasar karena aku sudah tidak kuat menghadapi gadis itu.
“Yasudah kalau kamu sudah tidak mau menerima tinggalkan saja” Nila kembali bersuara.
“Oh oke kalau begitu, aku ikutu maumu” Balasku sambil berlalu meningggalkannya.
Mungkin gadis itu sedang terpuruk, mungkin tidak akan makan, tidak akan berbuat apa-apa selain menangis, dan hal konyol lainnya untuk menyiksa dirinya sendiri. Sebenarnya aku juga bosan dengan tingkahnya yang semakin menjadi-jadi.
Siapa yang tidak mengenalku? Badan tinggi, kekar, seorang atlet dan juga memiliki wajah yang tampan. Hingga tidak salah jika aku banyak disukai para wanita. Tidak hanya itu, mantan pacarku tidak kunjung bisa move on meskipun sudah dua tahun putus denganku. Wajar jika aku akan menilai Nila tidak akan bisa lepas dariku.

Pesonaku akan selalu terpancar, meskipun seisi sekolah tahu bagaimana hubunganku dengan Nila. Semua pasti berkata jika Nila beruntung mendapat lelaki sepertiku.
Belum sehari putus Nila sudah meminta balikan, aku paham dia tidak akan mau jauh dariku. Setelah balikan hubungan ini hanya begitu-begitu saja, kami hanya akan putus-nyambung. Setiap putus selalu Nila yang meminta balikan, namun kali ini sudah sekitar dua hari putus Nila tidak memintaku balikan, aku hanya membiarkannya. Dia marah-marah padaku, dia berkali-kali sms dan telpon, namun tak ada yang aku balas ataupun aku angkat, karena aku sibuk dengan acara pertunangan kakak perempuanku nanti malam.
Karena Nila begitu memaksa akhirnya aku angkat dan ternyata dia mengajakku balikan, aku hanya mengiyakan, karena aku tengah sibuk dengan persiapan kakakku.
Malam pertunangan kakakku disaksikan hujan, Nila tak henti-hentinya sms aku menjelaskan jika malam ini dirumahku ada acara pertunangan kakakku, dia meng-iyakan dan mengucapkan selamat pada kakakku. Dan setelahnya aku tidak lagi membalasnya.
Setelah malam itu Nila tak lagi menghubungiku, dia seolah menghilang begitu saja tanpa kabar apapun, semua komunikasiku dengannya hilang begitu saja. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, aku sudah tak pernah melihat wajahnya lagi. Gadis itu benar-benar pergi entah kemana.
Setelah dua tahun kejadian malam itu aku bertemu dengan salah seorang teman Nila saat SMA. Akhirnya aku mengerti semuanya mengapa dia menghilang dari hidupku, Franda menceritakan semuanya. Kejadian saat malam pertunangan kakaku Nila sangat terpuruk, bagaimana tidak aku melarangnya menangis lagi jika dia ingin kembali denganku, namun malam itu adalah malam paling menyakitkan bagi Nila. Dalam kebahagiaan keluargaku ada seorang yang tak asing bagiku, wanita yang pernah hadir dalam hidupku dan sangat dekat dengan keluargaku. Nila mengetahui jika matanku diundang dalam pertunangan itu, namun tidak dengan dirinya.
Aku yang terlalu sibuk hingga melupakannya, gadis itu ternyaata sangat membutuhkanku malam itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa sampai akhirnya menelpon Franda, Nila menceritakan semua masalahnya pada Franda apalagi ketika Nila mendengar kabar jika mantanku hadir dalam pertunangan itu. Seketika tangisnya pecah, Franda mendengar sebuah ketulusan yang sangat besar dalam diri Nila. Nila begitu menyanyangiku, dia menyembunyikan sedih dan kecemburuannya selama ini. “Bagaimana bisa mantannya saat ini bersama keluarga besar Fendi sedangkan pacarnya sendiri terpuruk dalam sakit seperti ini” kata Nila, mungkin malam itu dia tidak tidur menunggu kabar dariku namun tak ada.
Sejak malam itu Nila memutuskan untuk pergi dan melupakan semua hal tentang diriku. Empat tahun berlalu kini aku menerima sebuah undangan berwarna putih dengan pita pink bertuliskan nama “Nila Aprilia Cantika & Lingga Stevano Alfarisyi”. Mataku tak berkedip melihat undangan dengan konsep ‘white party’ ini membuatku tak percaya jika gadis kecil yang telah aku gores hatinya telah menemukan pasangan hidupnya.
Hujan malam ini ingin rasanya aku ulang kejadian empat tahun yang lalu. Kini aku mengerti jika air mata Nila yang selalu membuatku bosan adalah tanda ketulusannya, gadis itu hanya ingin aku mengerti, ingin aku bersikap seperti dulu sebelum aku memiliki teman-teman baru, dan ingin aku tidak egois. Seharusnya nama di undangan itu adalah “Nila Aprilia Cantika & Fendi Putra Lesmana” tapi itu hanya seberkas mimpi yang tidak akan menjadi nyata. Aku pun tidak akan mengusik kebahagiaan gadis kecil itu.
“Terbanglah kau Nila, Terbang setinggi mungkin dengan sayap utuhmu, tinggalah aku dengan sayap yang aku patahkan sendiri. Berbahagialah gadis kecilku, biarkan kenangan ini hidup denganku dengan khayalan kita”