Kau tidak perlu terlalu kencang berlari, aku tahu diri
Masa lalu memang telah berlalu. Sejarah dan kenangan seharusnya sudah pada tempatnya masing-masing. Aku tidak seharusnya terus terjebak dalam kenangan yang begitu erat mengikat. Waktu terus berjalan, aku harus segera melangkah.
Entah sudah berapa lama aku berada dalam belenggu yang begitu mengikat dan menyiksaku. Rasanya aku diikat begitu kuat, hingga aku tak mampu kemana-mana. Memaksa untuk keluar dari ikatan itu, membuatku seperti semakin menyiksa diri. Lantas apa yang harus aku lakukan jika sudah seperti itu?
Aku menjadi orang yang serba salah. Bagaimana tidak? Dalam posisi terikat seperti itu aku hanya memiliki dua pilihan, tapi aku tahu jika apapun yang aku pilih akan tetap membuatku salah.
Suatu hari aku lelah, sungguh begitu lelah terikat dalam kenangan tentangmu. Aku marah pada diriku sendiri, kenapa aku tidak mampu lepas dari kenangan itu? Sampai aku memilih untuk nekat keluar dari ikatan yang begitu kuat itu. Bayangkan saja tubuhmu di ikat begitu erat, kau ingin lepas, dan tidak ada yang bisa melepaskanmu kecuali dirimu sendiri. Tersiksa bukan? Bagaimana lelahnya fisikmu dan pusingnya pikiranmu mencari jalan keluarnya. Dan saat itu pula seseorang datang lalu berkata, "Jika kau semakin keras memberontak keluar, ikatan itu akan semakin kuat." Aku tertegun seketika. Pikiranku melunak sejenak, kalimat itu seperti menamparku begitu keras. Aku memilih diam. Mungkin seharusnya aku tidak memaksa seperti ini.
Beberapa hari aku merasakan, ikatan yang membuatku terjebak dalam kenangan tentangnya perlahan melonggar. Aku memilih menikmati segala hal yang muncul, mungkin seperti hujan yang tidak pernah bisa aku suruh kembali saat hadir. Aku hanya bisa menikmatinya dan menunggunya pergi dengan sendirinya.
Tapi, sekali lagi itu kembali memunculkan sebuah komentar, "Bagaimana mungkin bisa lepas jika tidak pernah ada usaha keras untuk lepas." Ya Tuhan, menjadi serba salah tidak pernah menyenangkan.
Jika dengan memilih salah satunya membuatku serba salah, akhirnya aku memilih untuk memadukan keduanya. Aku akan menikmati sejenak setelah itu, aku akan terus berusaha keluar.
Cambukku adalah pundakmu yang semakin tidak terlihat di depanku. Kau semakin jauh, entah harus seberapa cepat nantinya aku harus berlari untuk mengejar.
Sampai suatu waktu aku sudah mampu keluar dari ikatan itu. Aku sudah mampu berjalan bahkan berlari. Tapi, sayangnya aku berlari kembali untuk mengejarmu, mencari keberadaanmu. Sekali lagi kau masih menjadi cambukku. Aku tidak tahu seberapa cepat aku berlari, dengan segala kenangan yang aku bawa bersama diri, aku menyadari aku sudah sangat jauh mencarimu. Sampai aku melihatmu berada di sebuah persimpangan, banyak sekali persimpangan. Aku bahagia bisa kembali melihat punggungmu, meskipun tidak pernah melihat wajahmu. Karena aku tahu kau enggan untuk menoleh, karena memang kau tidak pernah menyadari jika aku masih di belakangmu. Di tengah banyaknya pilihan persimpangan, kau memilih sebuah persimpangan yang tidak aku ketahui. Aku bingung seorang diri persimpangan mana yang akan aku pilih untuk mengejarmu. Aku sadar betul, setiap persimpangan yang aku pilih pastilah memiliki risiko masing-masing.
Dan aku memantapkan diri memilih sebuah persimpangan yang tepat berada di hadapanku. Entahlah apa yang menuntun kakiku untuk menapak di persimpangan itu. Persimpangan yang aku pilih begitu sepi, bahkan sangat sepi. Hanya ada aku seorang diri. Sepi yang begitu mencekat, seperti menghujamku berkali-kali, begitu perih. Tidak ada siapapun di sana, tidak ada yang bisa aku ajak berbagi. Aku benar-benar sendiri, hanya bersama Tuhan. Aku tahu Dia yang memilihkan persimpangan ini untukku. Keadaan sekitar membuatku begitu terpukul, aku menangis tersedu-sedu. Sendirian, sepi, dingin, dan menyakitkan. Rasanya aku ingin kembali mundur dan memilih persimpangan yang lain. Tapi, aku sadar betul aku tidak bisa kembali. Hanya akan membuang waktu jika aku berbalik ke belakang. Lebih baik aku terus berjalan.
Dan akhirnya aku merasakan, jika persimpangan ini mulai membawaku pada sebuah hal yang tak aku duga sebelumnya. Aku bertemu dengan banyak orang baru, yang membuatku merasakan kehangatan baru. Aku tidak perlu lagi menangis tersedu-sedu, merasakan ketakutan, atau bingung mencari seseorang yang tidak pernah mencariku. Hari ini aku membuktikan, kekuatan akan membawa pada sebuah hal berhaga lainnya. Hari ini aku menyadari, berlari mengejarmu tidak membuat keadaan kembali. Hari ini aku memutuskan, aku berhenti. Ya, aku berhenti mengejar apapun tentangmu. Aku berhenti mencarimu. Soal ingatan tentangmu? Ah sudahlah, aku akan terbiasa nantinya. Terbiasa tanpa apapun tentangmu. Tenagaku sudah benar-benar habis, aku lelah, aku bosan, dan aku berhenti.
Kau tidak usah terlalu ngotot berlari untuk menghindariku. Tidak, tidak usah. Berlarilah sewajarnya, karena aku sudah tak lagi di belakangmu. Aku sadar diri, mengejarmu hanya akan terus menyiksa diri. Kau tidak perlu menoleh untuk memastikan aku sudah tak lagi mengejarmu. Kau cukup pejamkan matamu, dan rasakan sudah tidak ada lagi langkahku, tidak ada lagi aku yang setiap hari mencemaskan keadaanmu, tidak ada lagi suara langkah kaki yang biasanya setia mengikuti irama gerakan kakimu memijak bumi.
Sudah cukup menjadikanmu tokoh utama dalam ceritaku. Aku bosan. Meskipun aku sadar, kau begitu menghidupkan ceritaku selama ini. Kau seolah memberi nyawa pada setiap detail ceritaku. Namun, aku harus bisa. Aku akan mencari tokoh utama yang lain agar ceritaku tetap hidup, meskipun bukan kau tokoh utamanya.
Hidupku harus tetap indah, seburuk apapun pengabaian darimu. Kelak kau akan sadar, tidak mudahnya bertahan dalam sebuah kesulitan. Jika itu terjadi, ingatlah aku. Ingat bagaimana usaha kerasku untuk menggapaimu.
Dan aku harap kau akan selalu bahagia. Tanpa aku, tidak, tidak aku tidak akan lagi mengusikmu. Dari sini, tempatku melangkah di persimpangan berbeda, aku melihatmu tersenyum dan begitu bahagia. Ya, itu sudah cukup. Sangat cukup untuk meneruskan perjalananku tanpa harus memikirkan keadaanmu. Karena aku sudah memastikan, kau sudah bahagia. Tanpaku.
Terimakasih karena kau aku tahu rasanya hidup dalam ketidakmudahan. Kita telah bersimbiosis, simbiosi komensalisme, aku mendapat banyak pembelajaran tanpa merugikanmu. Terimakasih atas segalanya. Aku pamit. Semoga kelak akan ada persimpangan yang mempertemukan kita, dan saat itu kau dan aku akan tersenyum satu sama lain, tidak lagi berpaling muka.