Sabtu, 03 Juni 2017

Ospek dan Dia


Apa yang selalu menjadi ciri khas ketika menjadi mahasiswa baru selain harus menjalani serangkaian ospek yang  diterapkan di setiap universitas, fakultas, dan jurusan? Sepertinya tidak ada yang menjadi khas selain hal itu. Namaku Naya, salah seorang mahasiswa baru sebuah universitas negeri di Surabaya. Kali pertamaku merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswa baru selain bisa bertemu dengan kakak-kakak senior panitia adalah harus tahan ngantuk melewati serangkaian acara pengenalan kampus yang biasanya di dominasi dengan ceramah membosankan.
            Mataku mulai sulit untuk terbuka, hari ini agendaku adalah menjalani pra-ospek fakultas, mc masih begitu bersemangat memandu acara ini, andaikan yang menjadi mc tidak benar-benar berbakat mempertahankan suasana agar tetap cair mungkin seisi ruangan dengan kapasitas 150 orang lebih ini sudah banyak yang tidak kuat menopang kepalanya sendiri.
            “Gimana tadi materinya? Seru kan? Pasti banyak sekali pengetahuan yang kalian dapat,” suara mc wanita dengan dialek khas Jawa Surabaya memenuhi telingaku. Maklum aku tidak memiliki darah Jawa sama sekali dan sekarang aku berada di lingkungan yang penuh dengan bahasa Jawa, semuanya masih terasa baru dan kadang aku merasa aneh ketika ingin tertawa sendiri mendengar obrolan dengan dialek khas Jawa.
            “Kapan jam makan siang? Ayolah cepat,” aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirik jam tanganku yang masih sekitar pukul 10.43 WIB. Menyadari itu aku menghela napas panjang membenarkan posisiku untuk menghilangkan rasa kantuk.
            “Ya, kita mau apa sekarang kak?” tanya salah seorang mc lainnya.
            “Bagaimana jika kita berkenalan dengan panitia dibalik acara ini.”
            “Wah, sudah pada tidak sabar kan? Ini adalah panitia yang biasanya di dominasi oleh cowok-cowok”
            Aku menguap. Pikiranku hanya ingin bertemu dengan kasur.
            “Ya mari kita sambut, panita bagian sie perlengkapan.”
            Ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan, rasa ngantukku sedikit berkurang. Setidaknya ini bukan sesi dari ceramah.
            “Huu... wah yang itu lumayan,” Yola bertepuk tangan, lalu menunjuk salah seorang di barisan ketiga, sontak mataku langsung tertuju padanya.
            “Iya, lumayan juga. Agak tinggi tapi tidak terlalu putih,” balasku ringan. Kantukku mulai hilang, mungkin karena ini adalah bagian cuci mata.
            Mereka satu persatu memperkenalkan diri.
            “Saya Putra sebagai koordinator sie perlengkapan,”
            “Saya Erwin”
            “Saya Dimas”
            “Saya Darma”
            “Oh jadi namanya Dimas,” Yola berbisik padaku.    
            “Haha iya, eh Yol, itu yang paling ujung lumayan ya,” ucapku spontan.
            “Eh iya, yang pakai kemeja hitam kan?”
            “Semuanya berkemeja hitam Yol.”
            “Eh iya sih, iya benar keren.”
            “Saya ...” ucap seorang paling ujung.
            “Namanya siapa Yol, kok sudah selesai perkenalan?”
            “Lha, kita juga lagi ngobrol mana aku tau Nay,” balas Yola santai
            “Coba ulangi sekali lagi, siapa namanya?” mataku menatapnya lekat-lekat dari tempat aku duduk.
            “Salah sendiri gak dengerin,” Yola mengejek.
            Setelah sesi perkenalan, mc kembali dengan tanya jawab mengenai persiapan ospek ini. Kalian tahu? Ada yang berubah dari diriku, semula aku hanya butuh kasur, kali ini aku duduk penuh antusias mendengarkan apa yang sedang terjadi di depan.
            Dia adalah seniorku, perkenalkan namaya... ah tidak perlu aku sebut siapa, aku melewatkan detik untuk mendengarkan namanya. Fokus pertamaku adalah pada alisnya, aku tidak muluk, dia memang begitu menarik di mataku.
            Bagaimana mungkin bisa, sedetikpun dia tidak pernah mengetahuiku, tapi detik itu pula otakku menciptakan hormon yang menyebabkan perasaan bahagia sebagaimana peminum sedang dalam keadaan termabuknya dan pecandu sedang pada perasaan ternyamannya.
            “Tolong ulangi sekali lagi namanya. Tuhan... aku hanya ingin tahu namanya”
            “Aduh, mas yang itu kok ganteng sih?” suara Yola kembali terdengar.
            Aku menoleh pelan “Aduh masih lebih oke yang ujung kok Yol,” Aku tertawa kecil.
            Mc menyebutkan kembali nama-nama yang baru saja memperkenalkan diri. “Sudah tau semua kan? Itu yang paling ujung namanya Rian,” suara mc bergeming memenuhi segala sudut ruangan, aku mengerjap cepat sambil melempar senyum pada Yola.
            “Teimakasih kakak-kakak dari perlengkapan,” suara mc mengiring para panitia keluar dari ruanganku.
            Hari-hari beriktnya aku sering melihatnya menjalankan tugasnya, biasanya aku melihat dia ketika waktu isoma para peserta opsek.
            Aku hanya mengetahuinya sekadar fisik, tinggi tidak lebih dari seratus tujuh puluh tapi tidak kurang dari seratus lima puluh delapan, alisnya berbeda dari alis orang jawa yang kebanyakan tidak terlalu tebal, badan kurus dengan potongan rambut rapi tapi tidak klimis.
            Beginilah pengalaman menjalani ospek, mengantuk pada waktu pemateri, tapi mendadak segar pada saat sesi perkenalan dengan panitia.
            Masa ospek juga merupakan masa berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai kota yang latar belakang budaya berbeda-beda.
            Setelah acara ospek fakultas itu aku sudah jarang melihat Rian. Terakhir aku melihatnya adalah pada saat angkatan satu prodiku berkumpul untuk membicarakan mengenai ospek jurusan, berhari-hari setelah itu aku hampir tak melihatnya. Entahlah mungkin aku yang terlalu antusias mengikuti perkuliahan dan sesekali mengikuti menjalani masa ospek jurusan dan rapat satu angkatan prodi. Maklum saja, ini kali pertamaku mencicipi rasanya menjadi mahasiswa.