Apa
yang selalu menjadi ciri khas ketika menjadi mahasiswa baru selain harus
menjalani serangkaian ospek yang
diterapkan di setiap universitas, fakultas, dan jurusan? Sepertinya
tidak ada yang menjadi khas selain hal itu. Namaku Naya, salah seorang mahasiswa
baru sebuah universitas negeri di Surabaya. Kali pertamaku merasakan bagaimana
menjadi seorang mahasiswa baru selain bisa bertemu dengan kakak-kakak senior
panitia adalah harus tahan ngantuk melewati serangkaian acara pengenalan kampus
yang biasanya di dominasi dengan ceramah membosankan.
Mataku mulai sulit untuk terbuka,
hari ini agendaku adalah menjalani pra-ospek fakultas, mc masih begitu
bersemangat memandu acara ini, andaikan yang menjadi mc tidak benar-benar
berbakat mempertahankan suasana agar tetap cair mungkin seisi ruangan dengan
kapasitas 150 orang lebih ini sudah banyak yang tidak kuat menopang kepalanya
sendiri.
“Gimana tadi materinya? Seru kan?
Pasti banyak sekali pengetahuan yang kalian dapat,” suara mc wanita dengan dialek
khas Jawa Surabaya memenuhi telingaku. Maklum aku tidak memiliki darah Jawa
sama sekali dan sekarang aku berada di lingkungan yang penuh dengan bahasa Jawa,
semuanya masih terasa baru dan kadang aku merasa aneh ketika ingin tertawa sendiri
mendengar obrolan dengan dialek khas Jawa.
“Kapan
jam makan siang? Ayolah cepat,” aku bergumam sendiri dalam hati sambil
melirik jam tanganku yang masih sekitar pukul 10.43 WIB. Menyadari itu aku
menghela napas panjang membenarkan posisiku untuk menghilangkan rasa kantuk.
“Ya, kita mau apa sekarang kak?”
tanya salah seorang mc lainnya.
“Bagaimana jika kita berkenalan
dengan panitia dibalik acara ini.”
“Wah, sudah pada tidak sabar kan?
Ini adalah panitia yang biasanya di dominasi oleh cowok-cowok”
Aku menguap. Pikiranku hanya ingin
bertemu dengan kasur.
“Ya mari kita sambut, panita bagian
sie perlengkapan.”
Ruangan dipenuhi dengan tepuk
tangan, rasa ngantukku sedikit berkurang. Setidaknya ini bukan sesi dari
ceramah.
“Huu... wah yang itu lumayan,” Yola
bertepuk tangan, lalu menunjuk salah seorang di barisan ketiga, sontak mataku
langsung tertuju padanya.
“Iya, lumayan juga. Agak tinggi tapi
tidak terlalu putih,” balasku ringan. Kantukku mulai hilang, mungkin karena ini
adalah bagian cuci mata.
Mereka satu persatu memperkenalkan
diri.
“Saya Putra sebagai koordinator sie
perlengkapan,”
“Saya Erwin”
“Saya Dimas”
“Saya Darma”
“Oh jadi namanya Dimas,” Yola berbisik
padaku.
“Haha iya, eh Yol, itu yang paling
ujung lumayan ya,” ucapku spontan.
“Eh iya, yang pakai kemeja hitam
kan?”
“Semuanya berkemeja hitam Yol.”
“Eh iya sih, iya benar keren.”
“Saya ...” ucap seorang paling
ujung.
“Namanya siapa Yol, kok sudah
selesai perkenalan?”
“Lha, kita juga lagi ngobrol mana
aku tau Nay,” balas Yola santai
“Coba ulangi sekali lagi, siapa
namanya?” mataku menatapnya lekat-lekat dari tempat aku duduk.
“Salah sendiri gak dengerin,” Yola
mengejek.
Setelah sesi perkenalan, mc kembali
dengan tanya jawab mengenai persiapan ospek ini. Kalian tahu? Ada yang berubah
dari diriku, semula aku hanya butuh kasur, kali ini aku duduk penuh antusias
mendengarkan apa yang sedang terjadi di depan.
Dia adalah seniorku, perkenalkan
namaya... ah tidak perlu aku sebut siapa, aku melewatkan detik untuk
mendengarkan namanya. Fokus pertamaku adalah pada alisnya, aku tidak muluk, dia
memang begitu menarik di mataku.
Bagaimana mungkin bisa, sedetikpun
dia tidak pernah mengetahuiku, tapi detik itu pula otakku menciptakan hormon
yang menyebabkan perasaan bahagia sebagaimana peminum sedang dalam keadaan
termabuknya dan pecandu sedang pada perasaan ternyamannya.
“Tolong
ulangi sekali lagi namanya. Tuhan... aku hanya ingin tahu namanya”
“Aduh,
mas yang itu kok ganteng sih?” suara Yola kembali terdengar.
Aku menoleh pelan “Aduh masih lebih
oke yang ujung kok Yol,” Aku tertawa kecil.
Mc menyebutkan kembali nama-nama
yang baru saja memperkenalkan diri. “Sudah tau semua kan? Itu yang paling ujung
namanya Rian,” suara mc bergeming memenuhi segala sudut ruangan, aku mengerjap
cepat sambil melempar senyum pada Yola.
“Teimakasih kakak-kakak dari
perlengkapan,” suara mc mengiring para panitia keluar dari ruanganku.
Hari-hari beriktnya aku sering
melihatnya menjalankan tugasnya, biasanya aku melihat dia ketika waktu isoma
para peserta opsek.
Aku hanya mengetahuinya sekadar
fisik, tinggi tidak lebih dari seratus tujuh puluh tapi tidak kurang dari
seratus lima puluh delapan, alisnya berbeda dari alis orang jawa yang
kebanyakan tidak terlalu tebal, badan kurus dengan potongan rambut rapi tapi
tidak klimis.
Beginilah pengalaman menjalani ospek,
mengantuk pada waktu pemateri, tapi mendadak segar pada saat sesi perkenalan
dengan panitia.
Masa ospek juga merupakan masa
berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai kota yang latar belakang
budaya berbeda-beda.
Setelah acara ospek fakultas itu aku
sudah jarang melihat Rian. Terakhir aku melihatnya adalah pada saat angkatan
satu prodiku berkumpul untuk membicarakan mengenai ospek jurusan, berhari-hari
setelah itu aku hampir tak melihatnya. Entahlah mungkin aku yang terlalu
antusias mengikuti perkuliahan dan sesekali mengikuti menjalani masa ospek
jurusan dan rapat satu angkatan prodi. Maklum saja, ini kali pertamaku
mencicipi rasanya menjadi mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar