Kamis, 17 September 2015

Perjalanan untuk Sebuah Kenangan


               
Matahari begitu mengenyat siang ini. Keringat bercucuran di sekujur tubuh Nadia dengan kaos liris-liris kecil berwarna navy dan hitam, rambut panjangnya terurai rapi dengan poni yang sedikit basah karena keringat. Siang ini terik, tetapi udaranya sangat menyejukkan.  That’s right saat ini posisi Nadia berada pada ketingian antara 450-550 Mdpl, suasana terik pun udara masih terasa berembun.
                Duduk termenung di depan barak tempat Nadia bermalam membuatnya bosan, ia memilih melangkah kecil mencari hal-hal yang mungkin berbeda dari tempatnya saat ini. Disini benar-benar berbeda dari Madura, dalam hatinya memberi penilaian. Beberapa menit berlalu ia menyadari ada sesuatu yang kurang, ia baru sadar ponselnya tidak ada di tangannya. Secepat kilat ia menuju kembali ke barak, setelah mengaduk-ngaduk isi ranselnya akhirnya ia menemukan kembali benda yang membuatnya begitu khawatir itu.
                Suasana barak sangat ramai, teman-temannya yang lain sedang sibuk merapikan barang-barang yang dibawanya. Ruangan ini hampir mirip dengan asrama polisi atau tentara, dalam ruangan itu tersebut terdapat empat ranjang berukuran besar, dua diantaranya bertingkat. Setiap satu ranjang dapat menampung delapan sampai sepuluh kasur.
                Nadia adalah anak kelas sepuluh SMA dengan badan kurus, rambut lurus terawat, matanya indah, tetapi suaranya terkadang membuat gatal telinga yang mendengar.
                “Sebelum kegiatan hari ini dimulai kita wajib selfie on the day” suaranya santai namun khas.
                “Mari keluarkan tongsing dan bersiap” Indira memberikan tongsing, dan dengan sekejap Nadia memasang dan mengatur ponselnya sesuai dengan yang ia harapkan.
                Nadia kembali memberikan tongsing yang sudah siap dengan ponsel tersebut kepada Indira, karena diantara yang lain Indira yang memiliki postur tubuh paling tinggi sekitar 170 cm. “Oke dibelakang siap? 5 detik ya”. Suaranya halus namun tegas, semua gadiis-gadis yang tersenyum menatap kamera itu dengan siaga berganti-ganti ekspresi setiap kali ponsel dengan otomatis berganti untuk mengambil foto yang baru.
                “Yuk kita ke lokasi, kita sudah dari tadi ditunggu pemandu kita”. Suara Gita lantang memerintah tegas. Secara perlahan satu demi satu melangkah menuju lokasi yang ditunjuk.
                “Selalu selfie everywhere”. Gita menyerigai pada ulah Nadia dan Indira yang masih berekspresi menatap kamera ponsel Nadia.
                “Momen itu wajib diabadikan. Balas Indira dengan senyum masamnya yang dibuat-buat.
                Satu jam berlalu, dua jam berlalu, dan berjam-jam untuk hari ini telah berlalu. Hari yang begitu indah, menikmati berbagai macam game, berteriak diatas flaying fox, tertawa lepas, Api unggun, Makan jagung bakar, joget-joget penuh keceriaan, nangis-nangis karena renungan, sampai acara kejutan ulang tahun untuk Yanti dan Hendra.
                Malam disini begitu dingin, tetapi kegitan-kegitan malam ini mampu membuat mereka mengabaikan rasa dingin yang menyelimuti diri mereka, bagi mereka bersama-sama adalah hal begitu indah. Seperti saudara, mereka berbaur bersama menikmati malam di Wisata Bhakti Alam Pasuruan ini, dan api unggun semakin menambah kehangatan diantara mereka.
Semuanya sudah terlewati, malam sudah menunjukkan pukul 22.30 sebagian sudah memposisikan diri di kasur masing-masing, sebagian lagi masih berkeliling area sekitar. Luas tempat wisata ini sekitar 60 hektare dan malam ini hanya rombongan Nadia yang menghuni tempat wisata ini.
                Entah seberapa jauh mereka melangkah, dengan tujuan yang tidak jelas , jalan yang menurun dan menanjak, udara malam yang terasa menusuk-nusuk tulang, bahkah tidak adanya penerangan membuat mereka yang ikut mengandalkan lampu senter dari ponsel mereka untuk penerangan.
                “Kita mau kemana guys”. Suara Ami bergemetar.
                “Kamu takut Mi?”. Sendi mengejek Ami yang kalah pada cewek-cewek yang tidak terlihat takut meskipun gelap.
                “Sudah tenang saja kita hanya berkeliling melihat-lihat sekitar sini”. Jelas Amel.
                “Sumpah disini dingin sekali, serasa beku”. Suara Nadia yang khas terdengar lantang, sejak tadi ia menggandeng tangan Gita.
                “Ah biasa aja Nad, Lu masih pake baju aja ngeluh. Noh si Ali Cuma pake celana pendek dan tanpa baju”. Indira menunjuk ke arah Ali yang memang hanya memakai celana pendek dan tidak mengenakan baju.
                “Waduh gila aja kamu Li gak dingin apa?”. Gita berkomentar.
                “Balik saja yuk teman-teman, makin kesini semakin menyeramkan”. Ami semakin menampakkan ketakutannya.
                “Hahaha” suara sebagin anak mengejek Ami yang begitu ketakutan sampai menggandeng tangan Ape. “Gila kalian gandengan cowok-cowok”. Suara Gita terdengar seperti menahan tawa.
                Malam semakin larut dan anak-anak itu masih terus melangakah, mereka sudah melewati beberapa jalan menurun yang lumayan curam sampai akhirnya mereka menyerah.
                “Mel kita mau kemana setelah ini?”. Ali bersuara tenang.
                Jalan di depan semakin curam, semuanya menghentikan langkah. “Kita balik saja ya, ini sudah larut, takut kita dicari”. Amel memang selalu bijak, kata-katanya selalu disegani.
                Untuk sampai kembali di barak mereka harus melewati beberapa tanjakan yang jauh. Butuh perjuangan besar untuk melaluinya karena tenaga sudah sehari terkuras ditambah lagi energi mereka sudah digunakan untuk menuruni jalanan curam, alhasil mereka memilih berhenti sejenak di depat food court.
                Saat semua duduk sejenak untuk sedikit memulihkan tenaga tiba-tiba terdengar suara motor yang semakin dekat, motor itu berhenti tepat di depan mereka. Dari motor tersebut terlihat dua orang berpakaian tentara lengkap. “Maaf adik-adik kalian menginap di cottage?”. Suaranya berat.
                “Tidak kami di barak pak”. Jelas Hendra.
                “Tolong jangan terlalu jauh. Tinggal disekitar barak saja, ini sudah sangat larut berbahaya”. Kata tentara yang satu lagi. Setelah itu mereka langsung berdiri melanjutkan untuk sampai di barak.
                Beberapa menit kemudian akhirnya sampai di barak. Beberapa dari mereka manarik napas lega. Hari ini benar-benar hari yang panjang menyenangkan dan juga begitu melelahkan. Jam menunjukkan pukul 23.30 hampir seluruh penghuni barak dua sudah terlelap, kecuali Nadia dan Gita yang masih betah diluar, mereka mencari sinyal untuk mengunggah salah satu aktivitasnya sehari ini. Di barak satu semuanya terlihat para kaum adam masih begitu antusias bercengkrama satu sama lainnya.
                Malam semakin larut, suara-suara itu mulai hening. Pintu barak sudah tertutup rapat, mungkin seluruh penghuninya sudah memejamkan mata, dan membiarkan malam berlalu.

Selasa, 01 September 2015

Nila



Rintik hujan menari-nari membasahi alam semesta ini, membawa dingin yang menusuk hingga tulang-tulang ini. Hujan malam ini mengusik ingatanku tentang luka hati ini, aku duduk diteras rumah tempat biasa aku menghabiskan waktuku dahulu. Hujan malam ini serasa menjadi hujan paling menyakitkan dalam hidupku, otakku seperti memutar kembali memory kenangan-kenangan manis itu, rasa bersalah dan penyesalan kian berkecamuk dalam hati ini. Andai waktu dapat diulang ingin rasanya aku memperbaiki semuanya. Otakku seperti mengingatkanku kejadian empat tahun yang lalu, kejadian yang tidak pernah dapat ku perbaiki lagi.
“Nila Aprilia Cantika” seorang gadis dengan lesung pipi unik, senyumannya selalu membentuk sebuah lesung dipipi kiri bagian atasnya, dia memang berbeda dengan gadis biasanya. Gadis sederhana yang membuatku jatuh hati pada pandangan pertama pertemuan kami.
Nila gadis yang selalu ingin mendapat perhatiaan dariku, dia selalu memiliki cerita-cerita unik, bibirnya pun tidak pernah lelah mengucap kata-demi kata, akan tetapi satu hal yang tidak pernah orang lain sangka tentang dirinya, Nila adalah orang yang sensitive sehingga tak jarang dia menangis.
Beberapa bulan berjalannya hubungan kami, semakin banyak masalah yang harus aku dan Nila hadapi, akan tetapi aku tidak terlalu memikirkannya, aku selalu menganggap semuanya hal biasa yang tidak perlu perhatian khusus. Lain halnya dengan Nila dia selalu memikirkan tiap-tiap masalah yang datang dan pasti akan berujung pada sebuah air mata. Setiap permasalahan yang terjadi Nila selalu menuntutku untuk mengerti dirinya namun aku merasa jika aku sudah mengertinya, wanita memang sulit ditebak apa maunya termasuk Nila.
Nila semakin tidak terkendali, dia berkata jika aku kini berubah, aku sudah tak memiliki waktu dengannya
“Fen kamu kenapa berubah, sejak kamu punya teman baru kamu jadi lebih sering sibuk dengan teman-temanmu, kamu sudah lupa buat nemenin aku” ucap Nila dengan nada yang terbata-bata dalam tangisnya.
“Kamu kenapa tiap hari nangis? Aku bosan dengar suara tangismu itu. Aku tidak berubah” aku menjawab dengan suara agak kasar karena aku sudah tidak kuat menghadapi gadis itu.
“Yasudah kalau kamu sudah tidak mau menerima tinggalkan saja” Nila kembali bersuara.
“Oh oke kalau begitu, aku ikutu maumu” Balasku sambil berlalu meningggalkannya.
Mungkin gadis itu sedang terpuruk, mungkin tidak akan makan, tidak akan berbuat apa-apa selain menangis, dan hal konyol lainnya untuk menyiksa dirinya sendiri. Sebenarnya aku juga bosan dengan tingkahnya yang semakin menjadi-jadi.
Siapa yang tidak mengenalku? Badan tinggi, kekar, seorang atlet dan juga memiliki wajah yang tampan. Hingga tidak salah jika aku banyak disukai para wanita. Tidak hanya itu, mantan pacarku tidak kunjung bisa move on meskipun sudah dua tahun putus denganku. Wajar jika aku akan menilai Nila tidak akan bisa lepas dariku.

Pesonaku akan selalu terpancar, meskipun seisi sekolah tahu bagaimana hubunganku dengan Nila. Semua pasti berkata jika Nila beruntung mendapat lelaki sepertiku.
Belum sehari putus Nila sudah meminta balikan, aku paham dia tidak akan mau jauh dariku. Setelah balikan hubungan ini hanya begitu-begitu saja, kami hanya akan putus-nyambung. Setiap putus selalu Nila yang meminta balikan, namun kali ini sudah sekitar dua hari putus Nila tidak memintaku balikan, aku hanya membiarkannya. Dia marah-marah padaku, dia berkali-kali sms dan telpon, namun tak ada yang aku balas ataupun aku angkat, karena aku sibuk dengan acara pertunangan kakak perempuanku nanti malam.
Karena Nila begitu memaksa akhirnya aku angkat dan ternyata dia mengajakku balikan, aku hanya mengiyakan, karena aku tengah sibuk dengan persiapan kakakku.
Malam pertunangan kakakku disaksikan hujan, Nila tak henti-hentinya sms aku menjelaskan jika malam ini dirumahku ada acara pertunangan kakakku, dia meng-iyakan dan mengucapkan selamat pada kakakku. Dan setelahnya aku tidak lagi membalasnya.
Setelah malam itu Nila tak lagi menghubungiku, dia seolah menghilang begitu saja tanpa kabar apapun, semua komunikasiku dengannya hilang begitu saja. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, aku sudah tak pernah melihat wajahnya lagi. Gadis itu benar-benar pergi entah kemana.
Setelah dua tahun kejadian malam itu aku bertemu dengan salah seorang teman Nila saat SMA. Akhirnya aku mengerti semuanya mengapa dia menghilang dari hidupku, Franda menceritakan semuanya. Kejadian saat malam pertunangan kakaku Nila sangat terpuruk, bagaimana tidak aku melarangnya menangis lagi jika dia ingin kembali denganku, namun malam itu adalah malam paling menyakitkan bagi Nila. Dalam kebahagiaan keluargaku ada seorang yang tak asing bagiku, wanita yang pernah hadir dalam hidupku dan sangat dekat dengan keluargaku. Nila mengetahui jika matanku diundang dalam pertunangan itu, namun tidak dengan dirinya.
Aku yang terlalu sibuk hingga melupakannya, gadis itu ternyaata sangat membutuhkanku malam itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa sampai akhirnya menelpon Franda, Nila menceritakan semua masalahnya pada Franda apalagi ketika Nila mendengar kabar jika mantanku hadir dalam pertunangan itu. Seketika tangisnya pecah, Franda mendengar sebuah ketulusan yang sangat besar dalam diri Nila. Nila begitu menyanyangiku, dia menyembunyikan sedih dan kecemburuannya selama ini. “Bagaimana bisa mantannya saat ini bersama keluarga besar Fendi sedangkan pacarnya sendiri terpuruk dalam sakit seperti ini” kata Nila, mungkin malam itu dia tidak tidur menunggu kabar dariku namun tak ada.
Sejak malam itu Nila memutuskan untuk pergi dan melupakan semua hal tentang diriku. Empat tahun berlalu kini aku menerima sebuah undangan berwarna putih dengan pita pink bertuliskan nama “Nila Aprilia Cantika & Lingga Stevano Alfarisyi”. Mataku tak berkedip melihat undangan dengan konsep ‘white party’ ini membuatku tak percaya jika gadis kecil yang telah aku gores hatinya telah menemukan pasangan hidupnya.
Hujan malam ini ingin rasanya aku ulang kejadian empat tahun yang lalu. Kini aku mengerti jika air mata Nila yang selalu membuatku bosan adalah tanda ketulusannya, gadis itu hanya ingin aku mengerti, ingin aku bersikap seperti dulu sebelum aku memiliki teman-teman baru, dan ingin aku tidak egois. Seharusnya nama di undangan itu adalah “Nila Aprilia Cantika & Fendi Putra Lesmana” tapi itu hanya seberkas mimpi yang tidak akan menjadi nyata. Aku pun tidak akan mengusik kebahagiaan gadis kecil itu.
“Terbanglah kau Nila, Terbang setinggi mungkin dengan sayap utuhmu, tinggalah aku dengan sayap yang aku patahkan sendiri. Berbahagialah gadis kecilku, biarkan kenangan ini hidup denganku dengan khayalan kita”


Selasa, 06 Januari 2015

The Last Letter


            "Kamu kenapa tega?”  Tanya Linda dengan isak tangisnya.
“Aku sudah bosan sama sikapmu yang cengeng itu," balas Rian dengan nada membentak.
“Yasudah tinggalkan saja aku, jika kamu sudah tidak bisa menerimaku lagi," pinta Linda.
“Oke memang itu yang aku inginkan.  bye.” Rian kembali bersuara keras sambil berlalu meninggalkan Linda sendirian di taman sekolah yang nampaknya sepi.
                Linda dan Rian adalah sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan setahun lebih, pertemuan pertama mereka yang membuat keduanya sama-sama menaruh hati satu sama lain, hingga akhirnya keduanya memberanikan diri menjalin kasih. Hubungan keduanya sangatlah baik, tak sedikit warga sekolah yang iri melihat kebersamaan pasangan muda yang sedang dimabuk cinta itu. Semua waktu serasa milik mereka berdua saja, Atika sahabat Linda sangat mengidam-idamkan laki-laki seperti Rian yang setia bersama Linda setiap saat.
                Namun, setelah hubungan keduanya menginjak usia setahun, mulai banyak permasalahan yang dialami keduanya. Mulai dari sikap Rian yang terlalu sibuk dengan teman-teman barunya dikelas, sikap Rian yang sudah agak kasar, Rian yang sering sekali membiarkan Linda sendirian, dan Rian yang sekarang egois. Linda merasakan jika kini dirinya tak lagi berarti bagi seorang Rian, kini laki-laki yang dulu sering menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk Linda kini dengan mudah membalik keadaan. Linda sering menangis sendiri memikirkan Rian yang sudah tidak memiliki waktu untuknya, bahkan Rian sering melemparkan seluruh permasalahan hubungan mereka pada Linda seorang. Rian sering merasa tak bersalah terlebih sikap cengeng Linda yang semakin membuat Rian bersikap semena-mena pada gadis bertubuh mungil itu.
                Hari-hari Linda kini berubah, gadis periang yang selalu berbagi kecerian itu kini murung dan lebih pendiam. Atika sahabatnya bingung dengan apa yang terjadi dengan Linda, tubuhnya semakin hari semakin menyusut karena banyaknya kegiatan, ia juga jarang sekali makan dan istirahat, yang dilakukan di luar padatnya aktivitasnya adalah memikirkan Rian yang sudah tidak lagi memikirkannya. Setiap hari dia mengemis perhatian dari seorang Rian, namun tak pernah dihiraukannya, laki-laki berbadan kekar tersebut memilih ‘masa bodoh’ terhadap apa yang dikatakan Linda.
                Suatu hari ketika kegiatan  belajar mengajar tengah berlangsung, tiba-tiba seisi kelas dikejutkan oleh kondisi Linda yang tiba-tiba pingsan didepan kelas saat presentasi, sontak saja semua anak mendekati tubuh Linda yang kian menyusut seiring bertambahnya hari. Dari hidungnya mengalir darah segar yang membuat keadaan semakin panik, segera teman-teman Linda mengambil tandu untuk memembawa tubuh yang kini tak berdaya itu ke ruang UKS. Atika mencoba menghubungi mama dan papa Linda agar Linda lekas dilarikan ke rumah sakit. Suara sirine ambulan memberikan isyarat jika Linda dalam keadaan darurat.
         "Yan, itu Linda kan? Kenapa lo di sini? Bantuin kek, dia sakit begitu." Suara salah seorang teman Rian membuyarkan Rian yang sedang termenung.
       "Alah Linda sehat-sehat aja. Paling kalau memang itu Linda cuma ingin perhatian dari gue aja." Balasnya sinis.
        "Woy, seperti itu lo bilang dia cuma ingin perhatian lo? Itu sudah ambulans men, man mungkin main-main."
          " Ah sudah abaikan saja, dia punya orang tua kan. Haha." Kata Rian ceria.
       Di rumah sakit suasana terlihat sangat tegang menunggu dokter, untuk memastikan kondisi Linda baik-baik saja.
“Dok bagaimana anak saya?" Tanya mama Linda panik.
“Saya perlu bicara dengan bapak dan ibu." Dokter muda dan tampan yang menangani Linda mengajak mama dan papa Linda  menuju ruang kerjanya.
“Bagaimana kondisi anak saya dok?” Mama Linda begitu panik.
“Begini pak, bu dari hasil pemeriksaan saya beserta tim, anak bapak dan ibu di diagnosis menderita semacam kanker di otaknya,” jelas dokter sambil menunjukkan beberapa gambar sel sel kanker didalam kepala Linda. "Kondisi ini sebenarnya sudah sejak lama, tapi anak bapak dan ibu begitu kuat."
“Apa? Tidak mungkin dok, anak saya sehat-sehat saja, dia tidak pernah terlihat  sakit”
“Sudah ma, tenang," Papa Linda mencoba menenangkan istrinya yang kini menangis. "Kita dengarkan dulu penjelasan dokter."
"Saya kagum, mengetahui bahwa anak ini memang kuat merasakan sakitnya sendiri." Dokter menghela napas sejenak. "Jika dilihat dari perkembangan penyakitnya, penyakit ini sudah ada sekitar enam sampai tujuh bulan. Perkembangannya cepat sekali. Oleh karena itu saya sangat kagum pada anak bapak dan ibu yang mempu bertahan sendiri saat tubuhnya di gerogoti sel-sel mamatikan itu." Jelasnya.
                Tubuh Linda terbaring lemah tak berdaya didalam ruang ICU dengan selang infus ditangannya, nafasnya kini dibantu dengan oksigen, dan ditubuhnya terdapat banyak sekali perlengkapan medis. Sahabat-sahabat Linda sedih sekali mengetahui sahabatnya yang dikenal periang mengidap penyakit seserius itu, padahal gadis itu tidak pernah mengeluh sakit.
                Sudah tiga hari Linda koma namun tak ada tanda-tanda dia akan sadar, beberapa menit kemudian Linda berusaha membuka matanya, semua keluarga dan teman-temannya bahagia melihat Linda sadar. Matanya menatap sayu pada sekelilingnya, semua orang berharap dia akan kembali pulih meskipun itu adalah hal yang sangat sulit terjadi.
                Mengetahui Linda sadar, dokter dan suster segera mengecek kondisi Linda yang kini semua syarafnya sudah tak  berfungsi, matanya yang hanya bisa berkedip seperti memberi isyarat sesuatu, akan tetapi tak satupun yang mengerti maksud Linda. Sampai akhirnya Linda menutup kembali matanya dan monitor pendeteksi detak jantung kini membentuk garis lurus menandakan akhir hidup Linda. Suasana ruangan tersebut pecah dengan isak tangis sahabat dan keluarga Linda, sayangnya hanya satu orang yang mungkin diharapkan Linda ada, namun tidak ada. Rian tak pernah peduli dengan kadaan Linda, di menganggap Linda hanya berpura-pura sakit. Rian bersikap seperti itu karena dia tidak ingin terus-terusan di telpon ataupun di sms banyak sekali oleh Linda.
                Mendengar kabar Linda meninggal, Rian hanya memasang ekspresi biasa saja. Anton temannya mengajak dia menghadiri acara pemakaman Linda, Rian enggan hadir, namun Anton memaksanya. Dengan malas dia melangkah menuju acara pemakaman Linda. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari mata pemiliknya yang begitu mengenal sosok Linda. Begitu banyak yang mencintai gadis mungil bermata indah tersebut. Saat ini, di tempatnya sekarang, Linda tau betapa ia di cintai oleh banyak orang. Banyaknya orang yang terpukul atas kepergiannya menandakan ia adalah gadis baik yang begitu dicintai.
                Usai pemakaman semua yang hadir kini satu persatu menghilang dari kasat mata. Hanya tersisa mama papa Linda dan Atika. Mama Linda mengajak Atika membatu mama Linda untuk membereskan buku-buku dan benda-benda milik Linda.
                Beberapa saat kemudian setelah menempuh sekitar 10 menit perjalanan akhirnya mereka tiba dirumah Linda.
“Tik, kamu masuk saja ya sayang nanti tante nyusul,” pinta mama Linda pada Atika.
“Oke tan,” jawab Atika sambil melangkah menuju kamar Linda.
                Kamar dengan nuansa pink itu tampak sangat anggun dan feminim, bingkai-bingkai foto menghias sudut sudut kamar berukuran sekitar 4x5m itu. Dalam bingkai tersebut terdapat beberapa macam foto, salah satunya adalah fotonya dengan Rian sewaktu mereka menjalin kasih.
                Atika melangkah mendekati meja belajar yang dipenuhi berbagai buku dan kertas-kertas. Atik mencoba merapikan meja tersebut dan tidak sengaja menjatuhkan sebuah buku diary bermotif hellokitty, Atika langsung mengambil dan membuka lembaran demi lembaran pada diary itu. Tak lama kemudian air mata atik menetes membaca tulisan sahabatnya yang kini telah pergi. Segera Atika meraba sakunya dan mencari benda tipis yang biasa digunakannya, dicari nama Rian dan langsung ditekan tombol “panggil” olehnya.
“Halo”
“Halo.. Yan gue harus ketemu sama lo”
“Ngapain sih? Sok penting bangete”
“Penting, bentar lagi gue sms alamatnya”
Setelah telpon mati, kini Atika tengah sibuk dengan jari-jarinya mengirim sebuah alamat pada Rian. Dia langsung berpamitan pada mama dan papa Linda untuk pergi sebentar.
                Setelah beberapa menit, akhirnya Atika tiba ditempat yang dia tentukan untuk bertemu Rian, Rian sudah berdiri melongo kesana-kemari mencari batang hidung Atika.
“Eh ini dia, lama banget sih? Ada apaan?” Tanya Rian.
“Nih...” Atika memberikan buku diary Linda yang baru saja membuatnya meneteskan air mata.
“Apaan?” tanya Rian dengan memasang wajah bingung.
“Disitu ada suratnya, baca aja.” Jelas Atik.
Sambil membuka isi surat tersebut Rian mencari tempat duduk yang nyaman untuk membaca.
For          : My beloved Rian
Hai kamu? Apa kabar? Semoga sehat dan baik-baik saja ya. Rian... ketika kamu baca surat ini mungkin aku sudah tidak di dunia ini hmhm.. ya di dunia impian mungkin. Aku menulis surat ini untukmu, karena aku sudah tidak tahu bagaimana aku berkomunikasi deganmu lagi. Yan... ketahuilah jika aku sayang mencintaimu dengan sepenuh jiwa dan ragaku, sebanyak apapun masalahnya aku ingin tetap setia padamu, pada hubungan kita yang sudah sekitar tujuh belas bulan ini. aku masih membayangkan pernikahan yang sering kita khayalkan hmhmh... ditinggalkanmu membuat hidupku berubah, waktuku hanya aku habiskan untuk memikirkan hubungan kita walaupun kamu dengan mudah sudah melupakannya. Maafkan aku Yan karena aku tidak dapat mewujudkan khayalan kita menikah dengan konsep ‘white party’ . Yan ketahuilah aku menyembunyikan semuanya dari Mama dan Papa aku, karena aku gak mau lihat mereka sedih, aku ingin mereka melihat jika anaknya ini adalah gadis yang periang dan baik-baik saja, aku begitu mencintai mereka dan aku tidak ingin melihat mereka sedih karena tahu anaknya sakit . Aku bertahan untuk mereka dan untuk mimpi-mimpi kita. Kamu meninggalkanku didunia yang sama, namun aku meninggalkan hubungan ini didunia yang berbeda.  Aku harap kamu tetap menjadi Rian yang dulu menemaniku kesana-kemari dengan ikhlas bukan paksaan lagi. Kini aku sudah tenang ditempatku yang baru ini, aku melihatmu dari alamku saat ini. jangan sedih ya Yan.
Your ex girlfriend “Linda Apryanti”
Membaca surat itu membuat mata Rian perlahan menjatuhkan satu persatu butiran air mata yang kini mulai membasahi kertas yang di pegangnya. Apa yang telah diperbuatnya telah menyebabkan nyawa orang yang begitu menyayanginya pergi sia-sia karena menangisinya.
“Kenapa lo gak cerita Tik kalo sakitnya dia parah."
“Kasihan Linda, tak satupun percaya dia sakit. Pintar banget dia menyembunyikan semuanya,” kata Atik sambil menerawang jauh. "Lo tega banget sama dia Yan. Tega!!" Atika tidak mampu menahan tangisnya.
"Linda kau memang gadis yang baik. Jika Tuhan memberiku satu kali kesempatan selamanya tak akan pernah aku biarkan setetes air matamu jatuh karena sakit yang aku torehkan," hatinya bergeming meatapi kenyataan yang tidak dapat berubah. "Begitu besar salah gue pada dia, dan gue belum sempat minta maaf. Bahkan di hari terakhirnya pun aku tidak bisa melihatnya." Ucap Rian dengan suara parau.
"Apa yang bisa lo lakukan sekarang Yan? Perpisahan tersulit adalah kematian, mau bagaimanapun lo gak akan bisa membuatnya kembali." 

                Hanya penyesalan yang kini berkecamuk di dada Rian. Dadanya penuh dengan rasa bersalah pada gadis yang sudah dibawah batu nisan itu. Rasa sesalnya tidak akan pernah berujung pada apapun. Hidup memang selalu sulit di tebak seperti Linda yang mampu tersenyum dengan penyakit yang menggerogoti tubuhnya, gadis malang itu masih mampu memikirkan laki-laki yang sudah tak pernah memikirkannya.