Senin, 06 November 2017

BELAJAR BAHASA MELAYU LAMA ITU MENGASYIKKAN


                Di zaman seperti sekarang ini, tingkat pengetahuan seseorang semakin berkembang, tidak hanya dibidang ilmu pengetahuan seperti saintek dan soshum  tetapi juga dibidang bahasa. Banyak orang yang begitu bersemangat belajar bahasa-bahasa asing, selain bahasa inggris ada banyak bahasa asing yang kian dipelajari di beberapa sekolah, perguruan tinggi, dan tempat-tempat kursus. Salah satu bahasa asing yang diminati antara lain adalah bahasa  Jepang, bahasa Mandarin, bahasa Korea dan masih banyak lagi. Mungkin belajar bahasa itu dikarenakan bahasa-bahasa tersebut merupakan  bahasa negara-negara yang unik untuk dipelajari. Lalu bagaimana dengan bahasa Melayu Lama? Ku pikir tak banyak yang menyukai belajar bahasa tersebut, selain karena dianggap sulit bahasa tersebut juga dinilai kuno.
                Bahasa Melayu lama merupakan bahasa  yang berkembang di lingkungan kesultanan Malaka, bahasa ini memiliki aksara yang sekilas seperti huruf hijaiyah dalam bahasa arab, tetapi penamaan aksaranya adalah bahasa Jawi. Yang unik dari bahasa ini adalah penggunaan aksaranya yang seperti bahasa Arab tapi tidak memiliki harakat dan menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu tentunya bukan bahasa yang  asing di telinga kita, bahasanya masih dapat dengan mudah kita mengerti. Awalnya memang agak kesulitan membaca tulisannya, tetapi ternyata  belajar bahasa tersebut sangat mengasyikkan, terutama yang memang sudah hafal dan fasih huruf hijaiyah tentunya semakin mudah. Jika yang belum hafal atau fasih huruf hijaiyah tentunya kalian harus mulai belajar dulu, karena memang dasarnya hanyalah aksara Jawi yang merupakan huruf hijaiyah. Jadi, jangan ragu untuk mencoba, Melayu lama masih jauh lebih mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa Jepang yang aksaranya terdiri dari tiga kategori yakni Katakana, Hiragana, dan Kanji bahkan dengan bahasa Korea pun masih lebih mudah Melayu lama.

                Kita semua mungkin tidak menyadari jika banyak sekali produk-produk di sekitar kita yang menggunakan aksara Jawi, bahkan di produk-produk tertentu penggunaan aksara Jawi sangat  terlihat jelas. Itu membuktikan bahwa eksistensi bahasa Melayu masih begitu besar di kalangan masyarakat yang banyak tidak kita sadari.

Sabtu, 03 Juni 2017

Ospek dan Dia


Apa yang selalu menjadi ciri khas ketika menjadi mahasiswa baru selain harus menjalani serangkaian ospek yang  diterapkan di setiap universitas, fakultas, dan jurusan? Sepertinya tidak ada yang menjadi khas selain hal itu. Namaku Naya, salah seorang mahasiswa baru sebuah universitas negeri di Surabaya. Kali pertamaku merasakan bagaimana menjadi seorang mahasiswa baru selain bisa bertemu dengan kakak-kakak senior panitia adalah harus tahan ngantuk melewati serangkaian acara pengenalan kampus yang biasanya di dominasi dengan ceramah membosankan.
            Mataku mulai sulit untuk terbuka, hari ini agendaku adalah menjalani pra-ospek fakultas, mc masih begitu bersemangat memandu acara ini, andaikan yang menjadi mc tidak benar-benar berbakat mempertahankan suasana agar tetap cair mungkin seisi ruangan dengan kapasitas 150 orang lebih ini sudah banyak yang tidak kuat menopang kepalanya sendiri.
            “Gimana tadi materinya? Seru kan? Pasti banyak sekali pengetahuan yang kalian dapat,” suara mc wanita dengan dialek khas Jawa Surabaya memenuhi telingaku. Maklum aku tidak memiliki darah Jawa sama sekali dan sekarang aku berada di lingkungan yang penuh dengan bahasa Jawa, semuanya masih terasa baru dan kadang aku merasa aneh ketika ingin tertawa sendiri mendengar obrolan dengan dialek khas Jawa.
            “Kapan jam makan siang? Ayolah cepat,” aku bergumam sendiri dalam hati sambil melirik jam tanganku yang masih sekitar pukul 10.43 WIB. Menyadari itu aku menghela napas panjang membenarkan posisiku untuk menghilangkan rasa kantuk.
            “Ya, kita mau apa sekarang kak?” tanya salah seorang mc lainnya.
            “Bagaimana jika kita berkenalan dengan panitia dibalik acara ini.”
            “Wah, sudah pada tidak sabar kan? Ini adalah panitia yang biasanya di dominasi oleh cowok-cowok”
            Aku menguap. Pikiranku hanya ingin bertemu dengan kasur.
            “Ya mari kita sambut, panita bagian sie perlengkapan.”
            Ruangan dipenuhi dengan tepuk tangan, rasa ngantukku sedikit berkurang. Setidaknya ini bukan sesi dari ceramah.
            “Huu... wah yang itu lumayan,” Yola bertepuk tangan, lalu menunjuk salah seorang di barisan ketiga, sontak mataku langsung tertuju padanya.
            “Iya, lumayan juga. Agak tinggi tapi tidak terlalu putih,” balasku ringan. Kantukku mulai hilang, mungkin karena ini adalah bagian cuci mata.
            Mereka satu persatu memperkenalkan diri.
            “Saya Putra sebagai koordinator sie perlengkapan,”
            “Saya Erwin”
            “Saya Dimas”
            “Saya Darma”
            “Oh jadi namanya Dimas,” Yola berbisik padaku.    
            “Haha iya, eh Yol, itu yang paling ujung lumayan ya,” ucapku spontan.
            “Eh iya, yang pakai kemeja hitam kan?”
            “Semuanya berkemeja hitam Yol.”
            “Eh iya sih, iya benar keren.”
            “Saya ...” ucap seorang paling ujung.
            “Namanya siapa Yol, kok sudah selesai perkenalan?”
            “Lha, kita juga lagi ngobrol mana aku tau Nay,” balas Yola santai
            “Coba ulangi sekali lagi, siapa namanya?” mataku menatapnya lekat-lekat dari tempat aku duduk.
            “Salah sendiri gak dengerin,” Yola mengejek.
            Setelah sesi perkenalan, mc kembali dengan tanya jawab mengenai persiapan ospek ini. Kalian tahu? Ada yang berubah dari diriku, semula aku hanya butuh kasur, kali ini aku duduk penuh antusias mendengarkan apa yang sedang terjadi di depan.
            Dia adalah seniorku, perkenalkan namaya... ah tidak perlu aku sebut siapa, aku melewatkan detik untuk mendengarkan namanya. Fokus pertamaku adalah pada alisnya, aku tidak muluk, dia memang begitu menarik di mataku.
            Bagaimana mungkin bisa, sedetikpun dia tidak pernah mengetahuiku, tapi detik itu pula otakku menciptakan hormon yang menyebabkan perasaan bahagia sebagaimana peminum sedang dalam keadaan termabuknya dan pecandu sedang pada perasaan ternyamannya.
            “Tolong ulangi sekali lagi namanya. Tuhan... aku hanya ingin tahu namanya”
            “Aduh, mas yang itu kok ganteng sih?” suara Yola kembali terdengar.
            Aku menoleh pelan “Aduh masih lebih oke yang ujung kok Yol,” Aku tertawa kecil.
            Mc menyebutkan kembali nama-nama yang baru saja memperkenalkan diri. “Sudah tau semua kan? Itu yang paling ujung namanya Rian,” suara mc bergeming memenuhi segala sudut ruangan, aku mengerjap cepat sambil melempar senyum pada Yola.
            “Teimakasih kakak-kakak dari perlengkapan,” suara mc mengiring para panitia keluar dari ruanganku.
            Hari-hari beriktnya aku sering melihatnya menjalankan tugasnya, biasanya aku melihat dia ketika waktu isoma para peserta opsek.
            Aku hanya mengetahuinya sekadar fisik, tinggi tidak lebih dari seratus tujuh puluh tapi tidak kurang dari seratus lima puluh delapan, alisnya berbeda dari alis orang jawa yang kebanyakan tidak terlalu tebal, badan kurus dengan potongan rambut rapi tapi tidak klimis.
            Beginilah pengalaman menjalani ospek, mengantuk pada waktu pemateri, tapi mendadak segar pada saat sesi perkenalan dengan panitia.
            Masa ospek juga merupakan masa berkenalan dengan orang-orang baru dari berbagai kota yang latar belakang budaya berbeda-beda.
            Setelah acara ospek fakultas itu aku sudah jarang melihat Rian. Terakhir aku melihatnya adalah pada saat angkatan satu prodiku berkumpul untuk membicarakan mengenai ospek jurusan, berhari-hari setelah itu aku hampir tak melihatnya. Entahlah mungkin aku yang terlalu antusias mengikuti perkuliahan dan sesekali mengikuti menjalani masa ospek jurusan dan rapat satu angkatan prodi. Maklum saja, ini kali pertamaku mencicipi rasanya menjadi mahasiswa.

Selasa, 05 Juli 2016

Perlahan-lahan Aku Berhenti

Kau tidak perlu terlalu kencang berlari, aku tahu diri

Masa lalu memang telah berlalu. Sejarah dan kenangan seharusnya sudah pada tempatnya masing-masing. Aku tidak seharusnya terus terjebak dalam kenangan yang begitu erat mengikat. Waktu terus berjalan, aku harus segera melangkah.

Entah sudah berapa lama aku berada dalam belenggu yang begitu mengikat dan menyiksaku. Rasanya aku diikat begitu kuat, hingga aku tak mampu kemana-mana. Memaksa untuk keluar dari ikatan itu, membuatku seperti semakin menyiksa diri. Lantas apa yang harus aku lakukan jika sudah seperti itu?
Aku menjadi orang yang serba salah. Bagaimana tidak? Dalam posisi terikat seperti itu aku hanya memiliki dua pilihan, tapi aku tahu jika apapun yang aku pilih akan tetap membuatku salah. 

Suatu hari aku lelah, sungguh begitu lelah terikat dalam kenangan tentangmu. Aku marah pada diriku sendiri, kenapa aku tidak mampu lepas dari kenangan itu? Sampai aku memilih untuk nekat keluar dari ikatan yang begitu kuat itu. Bayangkan saja tubuhmu di ikat begitu erat, kau ingin lepas, dan tidak ada yang bisa melepaskanmu kecuali dirimu sendiri. Tersiksa bukan? Bagaimana lelahnya fisikmu dan pusingnya pikiranmu mencari jalan keluarnya. Dan saat itu pula seseorang datang lalu berkata, "Jika kau semakin keras memberontak keluar, ikatan itu akan semakin kuat." Aku tertegun seketika. Pikiranku melunak sejenak, kalimat itu seperti menamparku begitu keras. Aku memilih diam. Mungkin seharusnya aku tidak memaksa seperti ini.

Beberapa hari aku merasakan, ikatan yang membuatku terjebak dalam kenangan tentangnya perlahan melonggar. Aku memilih menikmati segala hal yang muncul, mungkin seperti hujan yang tidak pernah bisa aku suruh kembali saat hadir. Aku hanya bisa menikmatinya dan menunggunya pergi dengan sendirinya.
Tapi, sekali lagi itu kembali memunculkan sebuah komentar, "Bagaimana mungkin bisa lepas jika tidak pernah ada usaha keras untuk lepas." Ya Tuhan, menjadi serba salah tidak pernah menyenangkan.

Jika dengan memilih salah satunya membuatku serba salah, akhirnya aku memilih untuk memadukan keduanya. Aku akan menikmati sejenak setelah itu, aku akan terus berusaha keluar.
Cambukku adalah pundakmu yang semakin tidak terlihat di depanku. Kau semakin jauh, entah harus seberapa cepat nantinya aku harus berlari untuk mengejar.

Sampai suatu waktu aku sudah mampu keluar dari ikatan itu. Aku sudah mampu berjalan bahkan berlari. Tapi, sayangnya aku berlari kembali untuk mengejarmu, mencari keberadaanmu. Sekali lagi kau masih menjadi cambukku. Aku tidak tahu seberapa cepat aku berlari, dengan segala kenangan yang aku bawa bersama diri, aku menyadari aku sudah sangat jauh mencarimu. Sampai aku melihatmu berada di sebuah persimpangan, banyak sekali persimpangan. Aku bahagia bisa kembali melihat punggungmu, meskipun tidak pernah melihat wajahmu. Karena aku tahu kau enggan untuk menoleh, karena memang kau tidak pernah menyadari jika aku masih di belakangmu. Di tengah banyaknya pilihan persimpangan, kau memilih sebuah persimpangan yang tidak aku ketahui. Aku bingung seorang diri persimpangan mana yang akan aku pilih untuk mengejarmu. Aku sadar betul, setiap persimpangan yang aku pilih pastilah memiliki risiko masing-masing.

Dan aku memantapkan diri memilih sebuah persimpangan yang tepat berada di hadapanku. Entahlah apa yang menuntun kakiku untuk menapak di persimpangan itu. Persimpangan yang aku pilih begitu sepi, bahkan sangat sepi. Hanya ada aku seorang diri. Sepi yang begitu mencekat, seperti menghujamku berkali-kali, begitu perih. Tidak ada siapapun di sana, tidak ada yang bisa aku ajak berbagi. Aku benar-benar sendiri, hanya bersama Tuhan. Aku tahu Dia yang memilihkan persimpangan ini untukku. Keadaan sekitar membuatku begitu terpukul, aku menangis tersedu-sedu. Sendirian, sepi, dingin, dan menyakitkan. Rasanya aku ingin kembali mundur dan memilih persimpangan yang lain. Tapi, aku sadar betul aku tidak bisa kembali. Hanya akan membuang waktu jika aku berbalik ke belakang. Lebih baik aku terus berjalan.

Dan akhirnya aku merasakan, jika persimpangan ini mulai membawaku pada sebuah hal yang tak aku duga sebelumnya. Aku bertemu dengan banyak orang baru,  yang membuatku merasakan kehangatan baru. Aku tidak perlu lagi menangis tersedu-sedu, merasakan ketakutan, atau bingung mencari seseorang yang tidak pernah mencariku. Hari ini aku membuktikan, kekuatan akan membawa pada sebuah hal berhaga lainnya. Hari ini aku menyadari, berlari mengejarmu tidak membuat keadaan kembali. Hari ini aku memutuskan, aku berhenti. Ya, aku berhenti mengejar apapun tentangmu. Aku berhenti mencarimu. Soal ingatan tentangmu? Ah sudahlah, aku akan terbiasa nantinya. Terbiasa tanpa apapun tentangmu. Tenagaku sudah benar-benar habis, aku lelah, aku bosan, dan aku berhenti.

Kau tidak usah terlalu ngotot berlari untuk menghindariku. Tidak, tidak usah. Berlarilah sewajarnya, karena aku sudah tak lagi di belakangmu. Aku sadar diri, mengejarmu hanya akan terus menyiksa diri. Kau tidak perlu menoleh untuk memastikan aku sudah tak lagi mengejarmu. Kau cukup pejamkan matamu, dan rasakan sudah tidak ada lagi langkahku, tidak ada lagi aku yang setiap hari mencemaskan keadaanmu, tidak ada lagi suara langkah kaki yang biasanya setia mengikuti irama gerakan kakimu memijak bumi. 

Sudah cukup menjadikanmu tokoh utama dalam ceritaku. Aku bosan. Meskipun aku sadar, kau begitu menghidupkan ceritaku selama ini. Kau seolah memberi nyawa pada setiap detail ceritaku. Namun, aku harus bisa. Aku akan mencari tokoh utama yang lain agar ceritaku tetap hidup, meskipun bukan kau tokoh utamanya.

Hidupku harus tetap indah, seburuk apapun pengabaian darimu. Kelak kau akan sadar, tidak mudahnya bertahan dalam sebuah kesulitan. Jika itu terjadi, ingatlah aku. Ingat bagaimana usaha kerasku untuk menggapaimu.
Dan aku harap kau akan selalu bahagia. Tanpa aku, tidak, tidak aku tidak akan lagi mengusikmu. Dari sini, tempatku melangkah di persimpangan berbeda, aku melihatmu tersenyum dan begitu bahagia. Ya, itu sudah cukup. Sangat cukup untuk meneruskan perjalananku tanpa harus memikirkan keadaanmu. Karena aku sudah memastikan, kau sudah bahagia. Tanpaku.

Terimakasih karena kau aku tahu rasanya hidup dalam ketidakmudahan. Kita telah bersimbiosis, simbiosi komensalisme, aku mendapat banyak pembelajaran  tanpa merugikanmu. Terimakasih atas segalanya. Aku pamit. Semoga kelak akan ada persimpangan yang mempertemukan kita, dan saat itu  kau dan aku akan tersenyum satu sama lain, tidak lagi berpaling muka. 

Senin, 04 Juli 2016

Aku Belajar Berhenti

Sesuatu terjadi memang sudah di rencanakan dengan indah olehNya. Sama halnya dengan pertemuan kita sebelumnya. Pertemuan dua remaja yang katanya "tidak sengaja memiliki rasa satu sama lain." Padahal rasa yang pernah ada di antara kita adalah rasa yang Tuhan titipkan pada masing-masih diri kita waktu itu.

Mengupas tentangmu memang tidak ada habisnya. Entahlah kenapa setiap hal yang aku tulis selalu ingin aku tujukan untukmu. Padahal, aku sudah tidak ingin terlalu peduli tentang apapun yang berhubungan denganmu. Tapi, apa dayaku? semua inspirasiku masih karena tentangmu, ceritaku masih tetap dengan tokoh utama kamu, dan ingatanku masih terlalu kental soal kamu.
Aku tidak tahu mau menyebut ini apa, sebuah hal positif kah? atau negatif? Hatiku masih bingung menentukan yang mana.

Suatu ketika ada yang bertanya padaku, "Apa yang membuatnya begitu spesial untukmu? sedangkan dia hanya orang biasa-biasa saja?" Aku hanya melemparkan senyum terbaik di kala ada orang yang bertanya seperti itu. Aku hanya bergumam dalam hati "Jika ini sudah menjadi jalan yang Tuhan berikan, terlalu naif jika aku tidak mensyukurinya. Bukan aku tidak berusaha, hanya saja keadaan yang Tuhan pilihkan untukku ya seperti ini. Dan apapun itu artinya terbaik untukku." 
Aku tidak mungkin menyampaikan apapun cara berpikirku, karena setiap orang pasti memiliki cara berpikir masing-masing dan mereka memiliki hak untuk menyampaikan cara berpikirnya.

Dalam benakku sempat terbesit pertanyaan-pertanyaan yang entah dari siapa aku akan mendapatkan jawabannya.
"Apakah dia pernah sekali saja mengingatku?"
"Apa yang dia pikirkan saat mendengar namaku disebut?"
"Apakah dia pernah sedetik saja mengingat hal-hal yang pernah aku dan dia lakukan sebelumnya?"
"Setiap dia mendatangi tempat yang sama saat bersamaku, pernahkan terbesit kenangan itu?"
Mungkin itu adalah pertanyaan konyol, aku hanya bisa menggeleng kecil dan tertawa dalam hati jika aku memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Kamu boleh melupakan segala hal yang berkaitan denganku. Tapi semua yang pernah menjadi saksi kita bersama tidak akan bisa menghapus satu detik pun momen itu. Semuanya sudah tertata dengan rapi.

Kau tahu?
Hari ini aku kembali bersujud di lantai masjid yang sama, yang berbeda adalah hari ini aku dan kamu sudah berjalan masing-masing dan saling mengasing satu sama lain. Sebelumnya kita pernah bersama-sama bersujud di sana, lantai yang sama, masjid yang sama, hanya terpisah tempat saja. Hari ini aku menyadari, lantai tempatku bersujud kini tidak lagi sama seperti kala itu. Segalanya telah berubah dan seharusnya aku tidak boleh terus-menerus membuat setiap momen yang aku jalani sama seperti kala itu.
Aku harus bangun. Inilah dunia yang sesungguhnya, tidak ada lagi kamu. Semua tentangmu sudah pergi. Jangankan hatimu, seluruh notifikasi darimu saja sudah tak pernah lagi ada. Aku menyadari, betapa kau sudah benar-benar tidak ada dalam kehidupanku. Semuanya telah mati, yang hidup hanyalah perasaanku yang dulunya aku pupuk dengan pupuk terbaik, tumbuh membesar dan indah. Sampai akhirnya aku sadar seberapapun aku berusaha merawat agar rasaku tetap hidup, akan ada masanya rasa itu akan lenyap perlahan. Seperti pohon rindang yang terus menerus di tumbuhi benalu, pada akhirnya akan tetap mati. Seberapapun baik pupuk yang diberikan. Hidup memang bersinergi satu sama lain. Segalanya di ciptakan berpasang-pasangan dan segalanya penuh dengan sebab-akibat.

Kenyataan memang pahit, tapi akan lebih baik bertahan hidup dengan menelan pahitnya kenyataan, dibandingkan bermanis-manis ria dalam sebuah ilusi yang tak pasti.

Duniaku akan tetap indah, seburuk dan segelap apapun hati dan perasaanku yang telah kamu luluhlantahkan. Hidup harus terus berjalan, sampai nanti dengan sendirinya angin yang akan membawa pergi segalanya tentangmu. Membawa tentangmu pada masalalu dan abadi pada tempatnya.


Tentangmu Begitu Melekat

Ini tentangmu.
Entah sampai kapan aku masih mampu bertahan menjadikanmu salah satu objek yang tidak pernah absen aku sebut di setiap ceritaku. Padahal aku sudah tahu bagaimana  hatimu telah jauh pergi dariku dan sekitarku, yang kamu tahu hanya bagaimana terus melangkah menjauh, melupakan, dan mengabaikan segala tentangku. Aku sadar itu. sungguh sadar sekali. Sekalipun begitu aku tidak dapat berbuat apa-apa. Ini hanya aku yang tetap tinggal, tidak dengan kamu. Jadi, bagaimana aku bisa menarikmu kembali? sedangkan untuk menoleh saja kau enggan.
Aku masih begitu merasakan hadirmu. Setiap kali aku mendengar namamu di sebut, aku tidak mungkin untuk tidak menahan senyum, namamu masih begitu mendamaikanku. Ketika aku berjalan ke arah jalan yang pernah kita jelajahi bersama, aku masih seperti di tarik pada masa itu. Otakku seperti kembali mengaktifkan memori-memori yang selalu ingin aku kubur dalam-dalam. Aku hanya bisa duduk berdiam menyaksikan bagaimana otakku memutar segala hal yang pernah terjadi, aku hanya bisa menatap dengan tatapan kosong, karena aku tahu, sekali saja otakku mengaktifkan segala tentangmu, akan sulit untuk lepas dari segala hal itu.


Senin, 28 Maret 2016

Saat Kau Tak Lagi Dianggap

Bumi masih jelas berotasi.
Mentari masih menampakkan rona  kehangatannya dari ufuk timur.
Air laut masih menyapu bibir pantai.
Bulan, bintang, dan planet masih bergerak sesuai lintasannya.
Dunia ini masih indah, seburuk apapun keadaanmu. Dunia ini masih terang, segelap apapun kondisimu. Dan dunia ini masih berwarna, sekelam apapun kisahmu.
Setiap perkenalan pastilah beralasan, syukurilah setiap perkenalan yang mungkin mampu membuatmu tersenyum tak beralasan saat kali pertama Tuhan memperkenalkanmu dengannya. Dari situ Tuhan mengajarkanmu tentang menghargai arti sebuah pertemuan.
Tapi ingat, pertemuan diciptakan selalu berpasangan dengan perpisahan. Saat perpisahan datang rasanya pasti sangat memilukan, mungkin kau sampai menangis berderai-derai merasakan pahitnya sebuah perpisahan. Hatimu seperti di remas-remas
oleh keadaan, tapi dengan seperti itu kau diajarkan bagaimana menghargai sebuah keputusan dan menghargai sebuah pilihan untuk mengikhlaskan.
Sakit memang, menghadapi kenyataan sebuah perpisahan. Kau masih harus berdebat dengan hati dan pikiran yang belum mampu sejalan, kenangan yang masih berserakan di pikiranmu, dan hatimu yang masih perih merasakan sayatan luka.
Tapi, percayalah Tuhan mempertemukanmu dengan orang yang salah sebelum engkau dipantaskan bertemu dengan orang yang benar. Buka pintu maaf se luas-luasnya untuk orang yang telah menggores hatimu, bagaimanapun kau tidak bisa hidup selamanya dengan rasa sakit karena tidak mampu memaafkan. Lapangkan hatimu se lapang-lapangnya, ada rencana besar setelahnya. Tetaplah berlaku baik pada siapapun, karena sebuah kebaikan hanya akan dibalas dengan kebaikan pula.
Nikmati dunia yang begitu indah ini. Jangan terpuruk meratapi kisah yang tidak mampu kembali kau rajut. Cukup banyak bersyukur setelah itu kau akan dipertemukan dengan seseorang yang memang kau cari ini. Jika tidak, kau yang akan ditemukan oleh orang baik yang selama ini mencarimu.

Jangan pernah lupa untuk besyukur dan bahagia.

salam sayang
ZA

Kamis, 17 September 2015

Perjalanan untuk Sebuah Kenangan


               
Matahari begitu mengenyat siang ini. Keringat bercucuran di sekujur tubuh Nadia dengan kaos liris-liris kecil berwarna navy dan hitam, rambut panjangnya terurai rapi dengan poni yang sedikit basah karena keringat. Siang ini terik, tetapi udaranya sangat menyejukkan.  That’s right saat ini posisi Nadia berada pada ketingian antara 450-550 Mdpl, suasana terik pun udara masih terasa berembun.
                Duduk termenung di depan barak tempat Nadia bermalam membuatnya bosan, ia memilih melangkah kecil mencari hal-hal yang mungkin berbeda dari tempatnya saat ini. Disini benar-benar berbeda dari Madura, dalam hatinya memberi penilaian. Beberapa menit berlalu ia menyadari ada sesuatu yang kurang, ia baru sadar ponselnya tidak ada di tangannya. Secepat kilat ia menuju kembali ke barak, setelah mengaduk-ngaduk isi ranselnya akhirnya ia menemukan kembali benda yang membuatnya begitu khawatir itu.
                Suasana barak sangat ramai, teman-temannya yang lain sedang sibuk merapikan barang-barang yang dibawanya. Ruangan ini hampir mirip dengan asrama polisi atau tentara, dalam ruangan itu tersebut terdapat empat ranjang berukuran besar, dua diantaranya bertingkat. Setiap satu ranjang dapat menampung delapan sampai sepuluh kasur.
                Nadia adalah anak kelas sepuluh SMA dengan badan kurus, rambut lurus terawat, matanya indah, tetapi suaranya terkadang membuat gatal telinga yang mendengar.
                “Sebelum kegiatan hari ini dimulai kita wajib selfie on the day” suaranya santai namun khas.
                “Mari keluarkan tongsing dan bersiap” Indira memberikan tongsing, dan dengan sekejap Nadia memasang dan mengatur ponselnya sesuai dengan yang ia harapkan.
                Nadia kembali memberikan tongsing yang sudah siap dengan ponsel tersebut kepada Indira, karena diantara yang lain Indira yang memiliki postur tubuh paling tinggi sekitar 170 cm. “Oke dibelakang siap? 5 detik ya”. Suaranya halus namun tegas, semua gadiis-gadis yang tersenyum menatap kamera itu dengan siaga berganti-ganti ekspresi setiap kali ponsel dengan otomatis berganti untuk mengambil foto yang baru.
                “Yuk kita ke lokasi, kita sudah dari tadi ditunggu pemandu kita”. Suara Gita lantang memerintah tegas. Secara perlahan satu demi satu melangkah menuju lokasi yang ditunjuk.
                “Selalu selfie everywhere”. Gita menyerigai pada ulah Nadia dan Indira yang masih berekspresi menatap kamera ponsel Nadia.
                “Momen itu wajib diabadikan. Balas Indira dengan senyum masamnya yang dibuat-buat.
                Satu jam berlalu, dua jam berlalu, dan berjam-jam untuk hari ini telah berlalu. Hari yang begitu indah, menikmati berbagai macam game, berteriak diatas flaying fox, tertawa lepas, Api unggun, Makan jagung bakar, joget-joget penuh keceriaan, nangis-nangis karena renungan, sampai acara kejutan ulang tahun untuk Yanti dan Hendra.
                Malam disini begitu dingin, tetapi kegitan-kegitan malam ini mampu membuat mereka mengabaikan rasa dingin yang menyelimuti diri mereka, bagi mereka bersama-sama adalah hal begitu indah. Seperti saudara, mereka berbaur bersama menikmati malam di Wisata Bhakti Alam Pasuruan ini, dan api unggun semakin menambah kehangatan diantara mereka.
Semuanya sudah terlewati, malam sudah menunjukkan pukul 22.30 sebagian sudah memposisikan diri di kasur masing-masing, sebagian lagi masih berkeliling area sekitar. Luas tempat wisata ini sekitar 60 hektare dan malam ini hanya rombongan Nadia yang menghuni tempat wisata ini.
                Entah seberapa jauh mereka melangkah, dengan tujuan yang tidak jelas , jalan yang menurun dan menanjak, udara malam yang terasa menusuk-nusuk tulang, bahkah tidak adanya penerangan membuat mereka yang ikut mengandalkan lampu senter dari ponsel mereka untuk penerangan.
                “Kita mau kemana guys”. Suara Ami bergemetar.
                “Kamu takut Mi?”. Sendi mengejek Ami yang kalah pada cewek-cewek yang tidak terlihat takut meskipun gelap.
                “Sudah tenang saja kita hanya berkeliling melihat-lihat sekitar sini”. Jelas Amel.
                “Sumpah disini dingin sekali, serasa beku”. Suara Nadia yang khas terdengar lantang, sejak tadi ia menggandeng tangan Gita.
                “Ah biasa aja Nad, Lu masih pake baju aja ngeluh. Noh si Ali Cuma pake celana pendek dan tanpa baju”. Indira menunjuk ke arah Ali yang memang hanya memakai celana pendek dan tidak mengenakan baju.
                “Waduh gila aja kamu Li gak dingin apa?”. Gita berkomentar.
                “Balik saja yuk teman-teman, makin kesini semakin menyeramkan”. Ami semakin menampakkan ketakutannya.
                “Hahaha” suara sebagin anak mengejek Ami yang begitu ketakutan sampai menggandeng tangan Ape. “Gila kalian gandengan cowok-cowok”. Suara Gita terdengar seperti menahan tawa.
                Malam semakin larut dan anak-anak itu masih terus melangakah, mereka sudah melewati beberapa jalan menurun yang lumayan curam sampai akhirnya mereka menyerah.
                “Mel kita mau kemana setelah ini?”. Ali bersuara tenang.
                Jalan di depan semakin curam, semuanya menghentikan langkah. “Kita balik saja ya, ini sudah larut, takut kita dicari”. Amel memang selalu bijak, kata-katanya selalu disegani.
                Untuk sampai kembali di barak mereka harus melewati beberapa tanjakan yang jauh. Butuh perjuangan besar untuk melaluinya karena tenaga sudah sehari terkuras ditambah lagi energi mereka sudah digunakan untuk menuruni jalanan curam, alhasil mereka memilih berhenti sejenak di depat food court.
                Saat semua duduk sejenak untuk sedikit memulihkan tenaga tiba-tiba terdengar suara motor yang semakin dekat, motor itu berhenti tepat di depan mereka. Dari motor tersebut terlihat dua orang berpakaian tentara lengkap. “Maaf adik-adik kalian menginap di cottage?”. Suaranya berat.
                “Tidak kami di barak pak”. Jelas Hendra.
                “Tolong jangan terlalu jauh. Tinggal disekitar barak saja, ini sudah sangat larut berbahaya”. Kata tentara yang satu lagi. Setelah itu mereka langsung berdiri melanjutkan untuk sampai di barak.
                Beberapa menit kemudian akhirnya sampai di barak. Beberapa dari mereka manarik napas lega. Hari ini benar-benar hari yang panjang menyenangkan dan juga begitu melelahkan. Jam menunjukkan pukul 23.30 hampir seluruh penghuni barak dua sudah terlelap, kecuali Nadia dan Gita yang masih betah diluar, mereka mencari sinyal untuk mengunggah salah satu aktivitasnya sehari ini. Di barak satu semuanya terlihat para kaum adam masih begitu antusias bercengkrama satu sama lainnya.
                Malam semakin larut, suara-suara itu mulai hening. Pintu barak sudah tertutup rapat, mungkin seluruh penghuninya sudah memejamkan mata, dan membiarkan malam berlalu.